Kamis, 10 November 2011

Politik Luar Negeri dan Proses Pengambilan Keputusannya


Foreign Policy and Decision Making Process
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan politik luar negeri dan faktor-faktor apa yang dipakai oleh para pemimpin dan pejabat sebuah negara dalam membuat dan menetapkan kepentingan negaranya tersebut ? Dalam review kali ini, penulis akan membahas tentang politik luar negeri dan faktor-faktor apa yang dipakai oleh para pemimpin dan pejabat sebuah negara dalam membuat dan menetapkan kepentingan negaranya tersebut.
Politik luar negeri adalah sebuah aktifitas dimana negara sebagai aktor melakukan aksi dan reaksi. (Graham Evans & Jeffrey Newnham, 1998:179). Politik luar negeri merupakan sintesis dari tujuan-tujuan (kepentingan nasional) dan alat-alat negara (power dan kapabilitas). Jika dilihat dari pengertian dan unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri terdiri dari dua elemen yaitu : tujuan nasional yang akan dicapai dan alat-alat untuk mencapainya. Interaksi antara tuuan nasional dengan sumber-sumber untuk mencapainya merupakan subjek kenegaraan yang abadi. Dalam unsur-unsurnya itu terdapat politik luar negeri semua negara, besar atau kecil, semuanya bersifat sama. (Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, 1990:126) Politik luar negeri sendiri bisa dibagi atas empat kategori, sebagai contoh, kita bisa membedakannya menurut keputusan-keputusan yang kritis, penting, dan rutin. Kita juga bisa membedakan keputusan-keputusan tadi menurut kategori isu, seperti isu-isu militer, politik, ekonomi, lingkungan, sumber-sumber (misalnya energi), teknik, kultural, dan humaniter (kemanusiaan). (Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, 1990:128)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan politik luar negeri, diantaranya adalah faktor individual (ideosinkretik), kelompok, birokratis, nasional, dan global.
Faktor individual (ideosinkretik) : faktor ini berkaitan dengan persepsi, image, dan karakteristik pribadi si decision maker, antara lain: ketenangan vs ketergesagesaan, kemarahan vs prudensi, pragmatism vs ideologi yang bersifat pembasmian atau pemberantasan (crusadism). Keunggulan vs keterbelakangan, kreatifitas vs penghancuran, ketakutan vs sikap percaya diri yang berlebihan, dan lain-lain. (Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, 1990:129-130) Terlepas dari itu, seseorang bisa mengatakan bahwa faktor individual ini lebih mudah menjelaskan keputusan-keputusan di negara otoriter dan otoliter ketimbang di negara-negara demokrasi yang bersifat kompetitif.
Faktor kelompok: Faktor kelompok ini berasal dari kelompok-kelompok masyarakat atau individu-individu yang mempunyai ide-ide atau peranan besar dalam suatu negara sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemimpin dan para pejabat di suatu negara dalam menetapkan kebijakan politik negaranya tersebut.
Faktor birokrasi: Faktor ini menyangkut struktur dan proses pemerintahan serta efeknya terhadap politi luar negeri. Menurut Graham Alison dan Morton Halperin telah menganggap secara mendetail tentang kompleksitas dan nuansa politik birokratis (bureaucratic politics). (Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, 1990:131) Mereka juga mengemukakan bahwa faktor dan kompleksitas dari birokritas sendiri merupakan karakteristik normal yang terdapat hampir di semua negara. Sebagai contoh, para penstudi politik birokratis berpikir bahwa daripada mempelajari “kebijaksanaan-kebijaksanaan” Amerika di Eropa dan Uni Soviet, lebih baik berpikir menurut pandangan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, CIA, dan departemen luar negeri yang saling bersaing untuk mempengaruhi keputusan-keputusan presiden Lyndon B. Johnson, Richard Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter, dan Ronald Reagan dalam berbagai isu. Jika disimpulkan, faktor-faktor birokratis ini meliputi struktur organisasi pemerintah, standar prosedur pelaksanaan perwakilan-perwakilan birokrasi yang besar, proses pembuatan keputusan pada berbagai peringkat perumusan kebijaksanaan, berbagai teknik implementasi keputusan-keputusan politik, dan sikap para pejabat yang menyangkut dampak politik luar negeri terhadap politik domestic dan kesejahteraan umum negara.  (Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, 1990:132)
Faktor nasional: Yang termasuk ke dalam faktor-faktor nasional ini adalah meliputi variable lingkungan (environmental variables) seperti luas, lokasi, geografis, tipe daerah, iklim, dan sumber-sumber alam negara. Jika diilustrasikan maka seseorang akan mengharapkan suatu negara kontinental yang batas-batasnya mudah diserang, dan yang lokasinya strategis untuk membangun strategi ofensif (misalnya untuk mencari batas-batas yang lebih aman atau mencari daerah-daerah penyanggah), atau untuk memperoleh perlindungan dari negara yang lebih kuat dan lebih mobil. Selain itu, yang termasuk ke dalam variable nasinal yaitu atribut populasi suatu negara, yang antara lain adalah jumlah dan densitas (kepadatan) penduduk suatu negara. Sistem politik, ekonomi, dan sosial suatu negara juga merupakan salah faktor nasional yang berpengaruh dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. (Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, 1990:133)
Faktor sistem global: Faktor ini meliputi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan negara lain yang bisa merangsang respon politik negara yang dipelajari. Sebagai contoh serangan Vietnam Utara terhadap Vietnam Selatan msialnya dipandang oleh para policy maker Amerika Serikat sebagai usaha  suatu negara yang didukung oleh Rusia dan Cina untuk menganggu eksistensi keseimbangan Asia Tenggara. (Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, 1990:136-137)
Proses pembuatan politik luar negeri. Menurut Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki kelemahan adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal yang jarang terjadi. Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam “kotak hitam” pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif. Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan. Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif. (www.theglobalpolitics.com)
Kesimpulan
Dari review diatas mengenai politik luar negeri, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemimpin atau pejabat negara dalam membuat dan menetapkan politik luar negeri dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri adalah sebuah sintesis dari tujuan-tujuan untuk mencapai sebuah kepentingan nasional dan alat-alat negara dalam mempertahankan power dan kapabilitas. Sedangkan terdapat lima faktor yang mempengaruhi pemimpin atau pejabat negara dalam pembuatan kebijakan luar negeri, yaitu faktor individu, faktor kelompok, faktor birokrasi, faktor nasional, dan faktor sistem global. Sedangkan menurut Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Pertama, model strategis atau rasional, model kedua adalah pengambilan keputusan, ketiga pengambilan keputusan birokratis, keempat model adaptif, dan yang terakhir adalah pengambilan keputusan tambahan.
Daftar Pustaka
Coulumbis, Theodore A.& James H. Wolfe.1990.Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power.Bandung: C.V Abardin.
Evan, Graham & Jeffrey Newnham.1998. The Penguin Dictionary of International Relations. England:ClaysLtd, St Lves plc.
Pendekatan Terhadap Studi Politik Luar Negeri di Negara-negara Berkembang.2008.http://theglobalpolitics.com/?p=13, [10 Mei 2010]

Post-Modernisme




Post Modernisme
Setelah sebelumnya kita telah membahas dan memahami mengenai pemahaman mengenai konstruktivisme. Dalam review kali ini penulis akan membahas materi mengenai postmodernisme.
“Postmodernisme” adalah kata yang sangat kontoversial. Di satu pihak istilah ini sering digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok, baik di bidang seni maupun filsafat, yaitu dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung. Di pihak lain, kenyataan bahwa istilah itu telah memikat minat masyarakat luas bahkan hingga keluar akademik sebetulnya bahwa tentulah ia memiliki ketentuan untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental yang kini sedang kita alami. (Sugiharto, 1996: 15). Postmodernisme adalah pendekatan yang melihat dunia secara pluralis, liberalis, namun tidak radikal. Dunia dipandang secara kultural dan historis dengan adanya perbedaan yang amat dihargai termasuk penolakan terhadap representasi karena tidak mencerminkan adanya perbedaan yang sebenarnya. Postmodernism lebih diarahkan untuk menggambarkan keadaan yang ada seperti dunia yang dekonstruktif (yang ditelusuri secara permukaan bahwa dunia paska- modern adalah seperti ini, atau seperti itu). (www.scribd.com)
Genealogy of Neorealism
Postmodernisme tetap termasuk yang paling kontroversial dari teori-teori dalam humaniora dan ilmu sosial. Memang, setelah serangan teroris 11 September, beberapa komentator melangkah lebih jauh dengan menyalahkan postmodernisme (Burchill & Linklater, 2005: 161). Genealogy, yang dapat diartikan sebagai keperluan untuk memahami sesuatu dalam hubungan internasional dengan memperhatikan latar belakangnya, melihat secara lebih luas, dan menggali secara lebih dalam, bukan untuk mencari realitas yang hilang namun untuk mempertahankan validitas realitas tersebut sebagai dasar untuk berargumentasi (www.scribd.com). Genealogy juga sederhananya adalah suatu jenis pemikiran historis yang mengungkap dan mencatat signifikansi dalam relasi-pengetahuan. Hal ini barangkali dapat dipahami dengan memperhatikan serangan Nietzhesche yang membabi buta terhadap konsep kebenaran dan nilai-nilai moral dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morals. Nietzsche berupaya mengungkapkan, dengan menentang filsafat, bagaimana sesuatu dapat terkontaminasi asal-usulnya oleh sesuatu yang tampak sebagai antitesis. Bahkan, menurut Nietzsche , kebenaran tidak lain adalah sebuah kesalahan atau ketidakbenaran yang mengkristal menjadi kebenaran melalui proses kesejarahan yang panjang. Di dalam relasi antar pengetahuan, kekuasaan, sejarah, dan nilai ilmiah genealogi memusatkan kritiknya. (Burchill & Linklater. 2009: 247-248).
Dekonstruksi Diplomasi
Kaum postmodernis adalah kaum dekonstruktivis (Jackson & Sorensen, 2009: 304). Sebenarnya dekonstrusi sendiri adalah agenda utama dari postmodernisme. Seperti power berubah ke arah knowledge atau ilmu pengetahuan. Serta membongkar kelas-kelas power di balik perkembangan ilmu HI (www.docstoc.com). Semangat postmodernisme mencoba mendekonstruksi kembali konstruksi-konstruksi yang ada namun tanpa memberikan konstruksi yang baru sebagai alternatif, karena bagi kaum post modernisme segala sesuatu adalah relatif, atau di dunia ini tidak ada yang mutlak. Suatu konstruksi (baik konstruksi pemikiran) akan terus dipertanyakan tentang kebenarannya, dan bisa berubah-ubah setiap saat, karena mustahil menemukan kebenaran yang hakiki (www.gloria.net).
Intertextual of International Relations
Der Derian berpendapat bahwa posmodernisme berkaitan dengan upaya untuk menunjukkan adanya ‘saling pengaruh tekstual di balik kekuasaan politik’. Lebih khusus, posmodernisme berkenaan dengan upaya untuk menunjukkan adanya saling pengaruh tekstual di antara kekuasaan-kekuasaan politik, dimana efek tekstualitas tidak berada di balik politik itu sendiri, namun secara intrinsik berada di dalamnya. ‘ Realitas’ kekuasaan politik senantiasa terbentuk melalui tekstualitas serta menghasilkan suatu bentuk representasi. Tekstualitas merupakan tema umum postmodern. Tekstualitas berasal dari definisi ulang Derrida mengenai ‘teks’ dalam Of Grammatology. Adalah penting untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud Derrida dengan teks. Derrida tidak membatasi arti teks atas literature ataupun gagasan, seperti yang telah disalahartikan oleh sejumlah orang. (Burchill & Linklater, 2009; 253)
Anti Positivis
Anti-positivisme sangat erat kaitannya dengan anti-postivisme karena mereka menolak semua arguman dari para pemikir postivis. Anti-positivisme memandang dunia sosial adalah dunia yang relatif dan hanya bisa dimengerti oleh individu yang terlibat langsung pada aktivitas yang dipelajari. Positivisme menggambarkan epistemologi untuk menjelaskan dan memprediksi apa yang akan terjadi pada dunia sosial dengan mencari persamaan dan hubungan sebab-akibat antara elemennya. Positivisme memandang bahwa perkembangan pengetahuan adalah proses kumulatif dimana penemuan baru ditambahkan dan hipitesis yang salah dibuang. Sedangkan , anti-positivisme cenderung menolak bahwa ilmu pengetahuan dapat membuat generalisasi pengetahuan yang objektif dari segala sesuatu. (http://bebas.vlsm.org)
Ontologisme
Ontologi merupakan hasil estimologi Cartesian dan hasil okasionalisme. Sebagai landasan ontologis, hal itu sebenarnya lebih menunjukkan bahwa postmodernisme sesungguhnya tidak memiliki ontologisme, landasan otologis, sebagaimana modernisme, karena sama sekali memang tidak mendefinisikan, menetapkan, atau memastikan jawaban “onto”, tentang apa, esensi “apa” universal sebagaimana modernisme. Sebagaimana yang ditegaskan Derrida (Grenz, 2001: 14-15) bahwa postmodernisme memang tidak memiliki tujuan pencarian “hakikat tentang apa”, bahkan sebaliknya berusaha melenyapkan ontologisme tersebut. Terlepas dari maknanya yang esensial, hakiki, yang memang dihindarkan postmodernisme, yang dapat ditegaskan dalam hal ini barangkali adalah bahwa konsep tentang apa yang dimiliki postmodernisme adalah “apa yang beragam”, “apa yang beranekaragam”, atau “apa yang majemuk”—oleh karena itu tidak dapat direduksi, digeneralisasi, disebabkan keberagaman tersebut juga berarti keberbedaan, yang memang tidak dapat ditunggalkan, diuniversalkan. Didasarkan konsep “keanekaragaman”, “beranekaragam”, atau “majemuk” itu pula maka postmodernisme tidak memiliki landasan epistema paradigmatik yang juga tunggal, satu-satunya, sebagaimana modernisme dengan satu-satunya epistema yakni rasionalisme. (www.culturalstudiesnow.com)

Kesimpulan
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan dimana “Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini. Postmodernisme tetap termasuk yang paling kontroversial dari teori-teori dalam humaniora dan ilmu sosial. Memang, setelah serangan teroris 11 September, beberapa komentator melangkah lebih jauh dengan menyalahkan postmodernisme. Genealogy juga sederhananya adalah suatu jenis pemikiran historis yang mengungkap dan mencatat signifikansi dalam relasi-pengetahuan. Hal ini barangkali dapat dipahami dengan memperhatikan serangan Nietzhesche yang membabi buta terhadap konsep kebenaran dan nilai-nilai moral dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morals. Kaum postmodernis adalah kaum dekonstruktivis. Sebenarnya dekonstrusi sendiri adalah agenda utama dari postmodernisme. Seperti power berubah ke arah knowledge atau ilmu pengetahuan. Serta membongkar kelas-kelas power di balik perkembangan ilmu HI. Der Derian berpendapat bahwa posmodernisme berkaitan dengan upaya untuk menunjukkan adanya ‘saling pengaruh tekstual di balik kekuasaan politik’. Lebih khusus, posmodernisme berkenaan dengan upaya untuk menunjukkan adanya saling pengaruh tekstual di antara kekuasaan-kekuasaan politik, dimana efek tekstualitas tidak berada di balik politik itu sendiri, namun secara intrinsik berada di dalamnya. Anti-positivisme sangat erat kaitannya dengan anti-postivisme karena mereka menolak semua arguman dari para pemikir postivis. Anti-positivisme memandang dunia sosial adalah dunia yang relatif dan hanya bisa dimengerti oleh individu yang terlibat langsung pada aktivitas yang dipelajari. . Sebagaimana yang ditegaskan Derrida (Grenz, 2001: 14-15) bahwa postmodernisme memang tidak memiliki tujuan pencarian “hakikat tentang apa”, bahkan sebaliknya berusaha melenyapkan ontologisme tersebut




Daftar Pustaka
Burchill, Scott & Andrew Linklater.2009.Teori-Teori Hubungan Internasional.Bandung:Nusa Media.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg.2009.Pengantar Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Sugiharto, Bambang.1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Postmodernisme: Arus Kebudayaan dan Sistem Pengetahuan Kebudayaan.http://www.culturalstudiesnow.com/files/Download/CSNart2.pdf [7 Juni 2010]
Semangat Postmodernisme.2009.http://www.glorianet.org/index.php/augus/111-modernisme [7 Juni 2010]
“PerlunyaPost-Theory dalam Dunia yang „Sedang Mencari‟”.http://www.scribd.com/doc/26261195/Perlunya-Post-Theory-Dalam-Dunia-Yang-Sedang-Mencari  [7 Juni 2010]


Konstruktivisme



Konstruktivisme
Setelah sebelumnya kita telah membahas dan memahami mengenai pemahaman mengenai teori kritis serta mengenai English School. Dalam review kali ini penulis akan membahas materi mengenai konstruktivisme.
Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Konstruktivisme ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional, yaitu realisme dan liberalism. Serta konstruktivisme bertujuan untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis. (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/)
Konstruktivisme merupakan metodologi lama yang dapat dilacak kembali paling tidak pada tulisan abad ke-18 dari Giambattista Vico (Pompa1982). Teoritisi konstruktivis HI terkemuka adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), Alexander Wendt (1992), dan John Rugie (1998). Menurut konstruktivis, dunia sosial bukanlah sesuatu yang given; dunia sosial bukan sesuatu “di luar sana” yang hukum-hukumnya dapat ditemukan melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan melalui teori ilmiah, seperti yang dikemukakan oleh kaum behavioralis dan kaum positivis. Melainkan, dunia sosial merupakan wilayah intersubjektif; dunia sosial yang sangat berarti bagi masyarakat yang mebuatnya dan hidup di dalamnya, dan yang memahaminya. Dunia sosial dibuat atau dibentuk oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. (Jackson & Sorensen, 2009:307)
Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Berbeda dengan neorealis dan marxis, misalnya, yang menekankan pada struktur material hanya dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Kedua, kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Ketiga struktur dan agent saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan serta, pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/)

Argument via media realism & idealisme

Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt, memiliki kesamaan dengan realis dalam artian keduanya memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara sebagai aktor-aktor tunggal dan mengabaikan semua proses yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut. Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang  penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa. Posisi ini ditujuukan dengan jelas oleh Wendt melalui judul dari salah satu karya utamanya, ‘Anarchy is what states make of it’ (1992). (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/). Mereka adalah para pemikir teori “Kosmopolitan” daripada pemikir state-centric, pemikir solidaris daripada pemikir mengenai keberagaman atau pluralis, dan teori internasionalnya memiliki karakter yang progresif bahkan karakter penganut dalam hal bertujuan mengubah dunia menjadi lebih baik. Perubah sosial revolusioner adalah tujuannya. Hal ini menimbulkan munculnya dunia ideal semacam itu, apakah dunia ideal di dasarkan pada agama revolusioner seperti Kristen, atau ideologi revolusioner, seperti liberalisme republikan atau Marxisme-Leninisme. Bagi revolusionis, sejarah bukan hanya potongan kejadian dan peristiwa. Melainkan sejarah memiliki tujuan, manusia memiliki takdir. Kaum revolusionis optimis mengenai sifat manusia: mereka percaya pada kesempurnaan manusia. Tujuan akhir sejarah Internasional adalah untuk memungkinkan manusia mencapai pemenuhan diri dan kebebasan. Bagi Kant, revolusi menimbulkan pembentukan sistem negara republik yang bersamaan dapat membangun perdamaian abadi. Bagi Marx revolusi menimbulkan penghancuran negara kapitalis, menggulingkan sistem kelas yang menjadi landasannya, dan membentuk masyarakat tanpa kelas. Ketika revolusi itu dicapai, manusia tidak hanya akan terbebas tetapi juga bersatu kembali, dan tidak ada tempat baik bagi negara maupun bagi hubungan Internasional. Revolusionisme atau konstruktivisme pada sisi ekstrim adalah pernyataan bahwa satu-satunya masyarakat nyata di muka bumu adalah masyarakat dunia yang terdiri dari manusia, yaitu peradaban manusia. (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/).
Kritik Terhadap Neoliberalisme
Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal. Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka. Pendukung antiglobalisasi adalah pihak yang paling lantang menentang neoliberalisme, terutama sekali dalam implementasi "pembebasan arus modal" tetapi tidak ada pembebasan arus tenaga kerja. Salah satu pendapat mereka, kebijakan neoliberal hanya mendorong sebuah "perlombaan menuju dasar" dalam arus modal menuju titik terendah untuk standar lingkungan dan buruh. (http://islamlib.com/)
Kesimpulan
Dari review di atas didapatkan sebuah kesimpulan mengenai konstruktivisme. Konstruktivisme ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya perang Ddingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional, yaitu realisme dan liberalism. Serta konstruktivisme bertujuan untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis. Konstruktivisme berpendapat bahwa identitas dan kepentingan dalam politik internasional tidak stabil. Hal ini berlaku untuk identitas negara-bangsa berdaulat seperti anarki internasional. Yang penting adalah untuk melihat bagaimana identitas dan kepentingan dibangun pleh konstruktivisme serta bagaimana mereka dibuat atau diproduksi dalam dan melalui spesifik internasional interaksi (Onuf, 1989; Wendt, 1994). (Weber, 2001; 60). Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang  penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa. Posisi ini ditujuukan dengan jelas oleh Wendt melalui judul dari salah satu karya utamanya, ‘Anarchy is what states make of it’ (1992). Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal.
Daftar Pustaka
Jackson, Robert & Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Weber, Cynthia.2001. International Relations Theory: A Critical Introduction. New York: Routledge.
Fundamentalisme dan Neoliberalisme. http://islamlib.com/id/artikel/fundamentalisme-dan-neoliberalisme/ [6 Juni 2010]