Jumat, 09 Maret 2012

Permintaan Terhadap Rezim-Rezim Internasional



Robert O. Keohane dalam artikelnya yang berjudul, dibahas mengenai kita mempelajari rezim internasional karena kita tertarik dalam pemahaman memahami dunia politik. Analisis teoritis rezim internasional dimulai dengan munculnya sebuah anomali yang jelas dari sudut pandang teori Realis: adanya sebuah "penetapan prinsip-prinsip baik secara implisit maupun eksplisit, norma, aturan, dan prosedur dalam pengambilan sebuah keputusan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat didalamnya" dalam berbagai bidang hubungan internasional. Keohane dalam artikel ini juga menjelaskan bagaimana upaya untuk meningkatkan pemahaman kita tentang tatanan internasional, dan kerjasama internasional, melalui interpretasi formasi rezim internasional yang sangat bergantung pada analisis rasional pilihan dalam tradisi kontrak sosial utilitarian. (Keohane, 325)
Keohane juga menjelaskan mengenai teori stabilitas hegemonik yang menyatakan bahwa konsentrasi power terhadap satu negara dominan yang memfasilitasi perkembangan suatu rezim agar menjadi kuat dan adanya fragmentasi kekuasaan yang dikaitkan dengan kejatuhan sebuah rezim. Namun, teori stabilitas hegemonik ini gagal dalam menjelaskan  hubungan antara perubahan dalam power structures dan perubahan dalam rezim internasional itu sendiri. Teori stabilitas hegemonik ini juga tidak memperhitungkan dengan baik daya tahan dari sebuah institusi yang berbeda di dalam isu-isu yang diberikan serta menghindari dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan mengapa rezim internasional jauh lebih luas di dunia politik saat ini daripada di periode-periode sebelumnya (seperti akhir abad 19). Keohane dalam artikel ini berusaha untuk memperbaiki beberapa kesalahan dari teori stabilitas hegemonik dengan memasukkan itu dalam pendekatan supply-demand yang meminjam teori ekonomi mikro.
Demands for international regimes dalam artikel ini dibagi menjadi 5 bagian, diantaranta adalah systemic constraint-choice analysis: virtues and limitations; the context and functions of international regimes; elements of a theory of the demand for international regimes; information, openness, and communication in international regimes; dan coping with uncertainties: insurance regimes.
Systemic constraint-choice analysis: kebaikan dan limitasi
Dalam teori sistemik, karakteristik aktor diberikan dengan asumsi, daripada diperlakukan sebagai variabel; perubahan yang terjadi dalam outcome dijelaskan tidak berdasarkan variasi dalam karakteristik aktor, melainkan atas dasar perubahan atribut dari sistem itu sendiri. Teori ekonomi mikro, misalnya, berpendapat keberadaan perusahaan bisnis terkait dengan adanya fungsi utilitas yang diberikan, dan upaya untuk menjelaskan perilaku mereka atas dasar faktor lingkungan seperti daya saing pasar. (Keohane, 327-328)Teori sistemik ini fokus pada pembatasan jumlah variabel yang perlu dipertimbangkan. Analisis ini mengikuti tradisi teori ekonomi mikro dengan fokus pada kendala dan insentif yang mempengaruhi pilihan-pilihan yang dibuat oleh pelaku. Umumnya, para aktor di dalam dunia politik cenderung menanggapi secara rasional mengenai kendala (constraint) dan insentif. Perubahan karakteristik dari sistem internasional akan turut mengubah opportunity cost para aktor dari berbagai macam aksi, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan perilaku aktor-aktor yang terlibat didalamnya. (Keohane, 329)
Keohane sendiri membagi menjadi dua proses dimana rezim internasional bisa terwujud, diantaranya adalah the imposition of constrain dan decision making. Constraint disini tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan tetapi juga oleh powerful actors. Teori systemic constraint-choice analysis menekankan bahwa rezim internasional tidak harus dilihat sebagai upaya kuasi-pemerintah yang tidak sempurna untuk melembagakan hubungan otoritas terpusat di politik dunia tapi rezim itu sendiri lebih seperti kontrak, yang melibatkan aktor dengan tujuan jangka panjang yang berusaha untuk menyusun struktur hubungan mereka dengan cara yang stabil dan saling menguntungkan. (Keohane, 330)
The context and functions of international regimes
Di dalam analisis pembentukan suatu rezim internasional dalam kerangka constrain-choice membutuhkan konteks dimana aktor membuat sebuah pilihan mengenai fungsi-fungsi rezim itu sendiri. Fungsi utama dari rezim internasional adalah untuk memfasilitasi pembuatan perjanjian yang saling menguntungkan antar pemerintah dan juga mencegah adanya kondisi struktural anarki agar tidak mengarah ke perang. Aktor-aktor dalam dunia politik juga berusaha untuk mengurangi konflik kepentingan dan risiko dengan mengkoordinasikan perilaku mereka. (Keohane, 332-333)
Seperti yang dijelaskan oleh Keohane dalam artikelnya yang berjudul berjudul A functional Theory of International Regimes dimana seperti pasar tidak sempurna, world politics ditandai dengan adanya defisiensi kelembagaan yang akan menghambat kerjasama yang saling menguntungkan diantara para aktor yang terlibat. (Keohane, 2005; 85) Teori kegagalan pasar juga merupakan salah satu contoh ketidaksempurnaan institusional yang mungkin menghambat terbentuknya suatu perjanjian dan rezim internasional dapat ditafsirkan untuk membantu mengoreksi ketidaksempurnaan kelembagaan di dalam dunia politik. (Keohane, 335)
Elements of a theory of the demand for international regimes
Disini akan dijelaskan, mengapa permintaan rezim internasional itu ada. Seperti yang dijelaskan dalam teori coase, dimana rezim internasional memiliki nilai potensi untuk memfasilitasi perjanjian di dunia politik. Rezim seperti yang kita ketahui sebelumnya memfasilitasi pembuatan perjanjian substantif dengan menyediakan kerangka aturan, norma, prinsip, dan prosedur dalam negosiasi. (Keohane, 337)
Dan juga mengapa teori mengenai permintaan terhadap rezim internasional ini sendiri muncul dapat dijelaskan dengan mengaitkannya dengan teori kegagalan pasar yang penulis sudah jelaskan sebelumnya, bahwa rezim hadir untuk untuk membantu mengoreksi ketidaksempurnaan kelembagaan di dalam dunia politik. (Keohane, 335)
Namun, ada situasi tertentu dimana rezim  tidak dibutuhkan, seperti yang dijelaskan dalam teori Coase, ketika  apabila adanya kerangka hukum yang mengatur tindakan aktor-aktor yang ditetapkan oleh pemerintah, perfect information dan  zero transactions costs telah terpenuhi. (Keohane, 337-338)
Information, openness, and communication in international regimes
Rezim internasional, dan lembaga-lembaga dan prosedur yang berkembang dalam hubungan yang terjalin diantara merekaa, berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian dan risiko dengan menghubungkan isu-isu diskrit satu sama lain dan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi yang tersedia untuk para aktor yang terlibat didalamnya. Menghubungkan isu-isu yang ada sangat penting sebagai cara untuk mengatasi munculnya penipuan yang dilakukan oleh aktor-aktor. Penipuan sendiri kurang menguntungkan dalam sebuah "permainan,", dan rezim disini hadir sebagai informasi yang tepat dan cepat untuk  mengawasi perilaku aktor-aktor agar tidak melakukan kecurangan. (Keohane, 345-346) Informasi yang diperlukan dalam rezim internasional tidak terbatas hanya pada informasi tentang kemampuan pemerintah lain dan posisi dalam suatu negosiasi tapi juga lebih kepada informasi mengenai pengetahuan tentang evaluasi internal, niat, intensitas preferensi, dan kesediaan para aktor untuk mematuhi kesepakatan yang telah ditetapkan bersama-sama dalam rezim. (Keohane, 346-347)
Coping with uncertainties: insurance regimes
Dalam proses pembuatan rezim internasional tidak lepas dari adanya risiko dan ketidakpastian. Kerjasama internasional mengandung resiko bagi negara-negara dalam bekerja sama antar satu sama lain. Jika suatu negara atau aktor tidak mampu menjalankan komitmen yang mereka sepakati dalam sebuah perjanjian, akan membuat mereka sangat menderita. Disini, Rezim internasional dirancang untuk mengurangi ketidakpastian dan resiko dan sering tak terduga perubahan dalam politik dunia yang mungkin akan dihadapi para aktor yang terlibat. Namun, rezim juga menciptakan jenis lain dari suatu ketidakpastian, dimana ketidakpastian tentang apakah pemerintah dalam konstelasi dunia internasional akan tetap dalam komitmen mereka. (Keohane, 351)
Kesimpulan
Dari review mengenai artikel yang ditulis Robert O. Keohane yang berjudul The demand for international regimes , mengenai mengapa rezim internasional itu diperlukan dan permintaan apa saja yang ada didalam rezim yang membuat rezim ada dan dibutuhkan dalam dunia internasional adalah karena rezim internasional menurut Keohane dapat diinterpretasikan, sebagai suatu perangkat untuk memfasilitasi pembuatan perjanjian dalam dunia politik, khususnya antar aktor-aktor yang terlibat didalamnya seperti negara. Rezim juga memfasilitasi terbentuknya suatu perjanjian dengan menyediakan norma, prinsip, dan prosedur yang membantu para aktor untuk mengatasi hambatan (constraint). Dengan kata lain, rezim membuat aktor lebih mudah  untuk mewujudkan kepentingan mereka secara kolektif. Teori kegagalan pasar juga merupakan salah satu contoh ketidaksempurnaan institusional yang mungkin menghambat terbentuknya suatu perjanjian dan rezim internasional dapat ditafsirkan untuk membantu mengoreksi ketidaksempurnaan kelembagaan di dalam dunia politik.
Namun, ada kalanya permintaan terhadap rezim tidak dibutuhkan seperti yang dijelaskan dalam teori Coase ketika  apabila adanya kerangka hukum yang mengatur tindakan aktor-aktor yang ditetapkan oleh pemerintah, perfect information dan  zero transactions costs telah terpenuhi.
O. Keohane, Robert. 2005. after Hegemony – Cooperation and Discord in The World Political Economy. New Jersey.
O. Keohane, Robert. The Demand for International Regimes. pp.325-355

Teori Fungsional Rezim Internasional


Robert O. Keohane dalam artikelnya yang berjudul A functional Theory of International Regimes, dibahas bagaimana suatu rezim internasional dapat diciptakan dan menekankan nilai-nilai mereka untuk mengatasi apa yang biasa disebut dengan “political market failure”. Artikel ini juga akan membantu kita dalam memahami mengapa negara sering nyaman dengan aturan-aturan rezim dan mengapa rezim internasional dapat dipertahankan bahkan setelah kondisi yang memfasilitasi penciptaan rezim tersebut telah menghilang. Teori fungsional yang dijelaskan dalam artikel Keohane ini juga akan menyarankan beberapa alasan untuk percaya bahwa meskipun kepemimpinan hegemonik Amerika Serikat telah menjadi faktor krusial dari rezim ekonomi internasional kontemporer, namun  kelanjutan dari hegemoni belum tentu penting untuk kelangsungan hidup suatu rezim kedepannya. (Keohane, 2005; 85)
Seperti pasar tidak sempurna, world politics ditandai dengan adanya defisiensi kelembagaan yang akan menghambat kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam istilah ekonomi, konflik ini dianggap dapat dianggap sebagai bagian yang timbul dari adanya eksternalitas:  aktor tidak menanggung biaya penuh atau menerima keuntungan penuh atas apa yang mereka lakukan. Ronald Coase (1960) dalam artikelnya yang terkenal beliau berpendapat bahwa kehadiran eksternalitas tidak selali dianggap mencegah adanya koordinasi yang efektif antar aktor-aktor. Pada kondisi tertentu bargaining antar aktor dapat memberikan solusi yang dikenal dengan Pareto-Optimal yang mana tanpa harus menghiraukan aturan-aturan hukum yang berlaku. Inilah yang disebut dengan Teori Coase. (Keohane, 2005; 85)
Teori Coase menurut Conybeare (1990) banyak digunakan untuk menunjukkan kemampuan proses bargaining tanpa adanya campur tangan dari kewenangan pusat, dan teori ini juga secara spesifik digunakan di dalam konstelasi internasional. Teori Coase juga diinterpretasikan untuk memprediksi suatu masalah mengenai tindakan kolektif yang dengan mudah dapat diatasi dalam politik internasional dengan melalui proses bargaining dan mutual adjustment yang diwujudkan dengan adanya kerjasama antar aktor yang terlibat. (Keohane, 2005; 86-87)
Namun, teori Coase ini juga dikritik karena memiliki beberapa kekurangan salah satunya adalah tidak dengan mudah untuk menerapkan teori Coase dalam dunia politik dan juga menunjukkan pengaruh yang jauh lebih menarik mengenai fungsi dari suatu rezim internasional. (Keohane, 2005; 87) Keohane juga mengklasifikasikan beberapa kategori yang berhubungan dengan teori Coase ini, diantaranya adalah legal liability, transaction costs, uncertainty & information.
Legal Liability. Pemerintah tidak dapat menciptakan kewajiban hukum (legal liability) sekokoh yang dikembangkan secara teratur dalam suatu masyarakat. Rezim internasional terlihat seperti “quasi-agreements”, seperti contohnya ketika William Fellner (1949) membahas dan menganalisisa perilaku perusahaan oligopolistik yang seperti pemerintah. Dengan kata lain, quasi-agreementssecara hukum tidak memiliki kekuatan hukum, namun secara kontras membantu untuk mengatur sebuah hubungan dalam aturan yang saling menguntungkan (Lowry, 1979, p.276). (Keohane, 2005; 88-89)
Transaction costs. Seperti oligopolistik quasi-agreements, rezim internasional mengubah relative costs of transactions. Rezim internasional juga mempengaruhi transaction costs dalam sense of making perjanjian negosiasi. Rezim ekonomi internasional biasanya menggabungkan organisasi internasional yang menyediakan forum untuk pertemuan dan sekretariat yang dapat bertindak sebagai katalis untuk menghasilkan sebuah perjanjian. (Keohane, 2005; 89-90)
Uncertainty and Information. Fungsi informasi dari rezim merupakan suatu hal yang penting. Quality uncertainty merupakan salah satu masalah yang krusial dalam kegagalan pasar, misalnya dalam hal pasar lemon. (Keohane, 2005; 92)
Asymmetrical Information. Problem mengenai Asymmetrical Information ini muncul dikarenakan ketika perilaku ketidakjujuran dari aktor-aktor yang terlibat terjadi. (Keohane, 2005; 93)
Moral Hazard. Permaslahan dari moral hazard ini muncul secara tajam dalam kasus bank internasional.  (Keohane, 2005; 95)
Irresponsibility terjadi dikarenakan ada beberapa aktor-aktor yang terlibat berani menetapkan suatu komitmen padahal mereka sendiri tidak mungkin mampu untuk melaksanakan komitmen mereka tersebut. (Keohane, 2005; 96)
Regimes and Market Failure. Rezim internasional membantu negara dalam mengatasi segala macam problematika yang mereka hadapi. Prinsip dan aturan dalam regim membantu negara untuk mengurangi berbagai ketidakpastian perilaku yang seawtu-waktu akan menurun. Rezim juga berfungsi sebagai informasi yang dapat digunakan oleh negara. Pengaturan dalam rezim digunakan hanya untuk memonitor perlikau aktor-aktor yang terlibat didalamnya, serta mengurangi masalah mengenai moral hazard. Keterkaitan antar isu-isu tertentu dalam konteks rezim menimbulkan adanya  penipuan dan adanya ras tidak tanggung jawab dari para aktor-aktor, konsekuensi yang ditimbulkan dari perilaku tersebut kemungkinan akan menimbulkan masalah-masalah yang lebih kompleks. Hubungan yang erat antara pejabat yang terlibat dalam pengelolaan international regimes meningkatkan kemampuan pemerintah untuk membuat perjanjian yang saling menguntungka, karena hubungan antar pemerintah ditandai dengan komunikasi terus menerus antara para pejabat tingkat kerja, baik secara formal maupun informal, dan secara inheren lebih kondusif untuk bertukar informasi daripada hubungan yang dilakukan secara tradisional antar birokrasi yang tertutup. Seperti dalam International Law, dimana didefinisikan secara luas, fungsi mereka adalah untuk membuat tindakan manusia sesuai dengan pola-pola yang telah diprediksikan sebelumnya sehingga membawa beberapa harapan untuk mencapai hubungan yang rasional antara means dan ends. (Keohane, 2005; 97)
Compliance with International Regimes. Rezim internasional adalah lembaga yang terdesentralisasi. Desentralisasi tidak berarti tidak adanya mekanisme kepatuhan, tapi ini berarti bahwa ada sanksi terhadap pelanggaran prinsip-prinsip rezim atau aturan yang dilakukan oleh para aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Rezim juga memberikan aturan dan prosedur melalui mana sanksi tersebut dapat dikoordinasikan. Tingkat kepatuhan internasional seharusnya tidak dibesar-besarkan. Seperti yang tejadi di rezim perdagangan dan rezim moneter ketika itu tahun 1970, Amerika dan Eropa menerapkan kebijakan untuk melindungi tekstil, baja, dll. (Keohane, 2005; 98)
The Value of Existing Regimes. Dalam dunia politik, International Regimes membantu untuk memfasilitasi pembuatan perjanjian dengan cara mengurangi hambatan yang diciptakan oleh high transaction costs dan ketidakpastian. Pentingnya transaction costs dan ketidakpastian ini berarti bahwa rezim lebih mudah untuk dipertahankan , daripada diciptakan. Complementary interests merupakan salah satu syarat untuk menciptakan rezim tetapi tidak hanya itu saja yang diperlukan untuk memunculkan sebuah rezim. Konstruksi rezim internasional juga memerlukan adanya upaya aktif dari negara hegemon, seperti terbentuknya IMF dan GATT paska PD II. (Keohane, 2005; 100)
Networks of Issues and Regimes. Pemerintah mengantisipasi rezim-rezim internasional yang akan meningkatkan kepatuhan. Rezim menciptakan kepatuhan, serta juga membuatnya lebih menarik supaya calon anggota yang tertarik dengan rezim tersebut akan bergabung dengan rezim tersebut. Dengan menghubungkan masalah satu sama lain, rezim menciptakan situasi yang lebih seperti iterasi, seperti Prisoner’s Dilemma, di mana mungkin terjadi kerjasama rasional, daripada seperti single-play Prisoner’s Dilemma. Sebagai contoh Prisoner’s Dilemma menunjukkan tekanan sosial, dilakukan melalui keterkaitan antara isu-isu, menyediakan kumpulan alasan yang paling menarik bagi pemerintah untuk memenuhi komitmen mereka. (Keohane, 2005; 103)

Kesimpulan
Dari review mengenai artikel yang ditulis Robert O. Keohane yang berjudul A functional Theory of International Regimes dapat disimpulkan bahwa Keohane menjelaskan bagaimana suatu rezim internasional dapat diciptakan dan menekankan nilai-nilai mereka untuk mengatasi apa yang biasa disebut dengan “political market failure”. Fungsi-fungsi rezim sendiri adalah untuk membantu negara dalam mengatasi segala macam problematika yang mereka hadapi. Prinsip dan aturan dalam regim membantu negara untuk mengurangi berbagai ketidakpastian perilaku yang seawtu-waktu akan menurun. Rezim juga berfungsi sebagai informasi yang dapat digunakan oleh negara. Pengaturan dalam rezim digunakan hanya untuk memonitor perlikau aktor-aktor yang terlibat didalamnya, serta mengurangi masalah mengenai moral hazard. Oleh karena fungsional-fungsional  tersebut, rezim akan selalu dipertahankan keutuhannya.
Referensi
O. Keohane, Robert. 2005. after Hegemony – Cooperation and Discord in The World Political Economy. New Jersey.

Koordinasi dan Kolaborasi: Rezim di Dunia Anarki



Arthur A. Stein dalam artikelnya yang berjudul “Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world” berusaha untuk mengembangkan konseptualisasi rezim yang berfungsi untuk membatasi perilaku nasional (national behavior) dan untuk membentuk reaksi internasional. Rezim didefinisikan sangat luas dalam hubungan internasional dan untuk membentuk interaksi internasional dalam isu-isu area yang diberikan. (Stein, 1983; 115) Dalam pandangan ini misalnya, sebuah rezim moneter internasional tidak lebih dari sekedar suatu hubungan internasional yang melibatkan uang.
Dengan adanya dasar teoritis tersebut, dapat dikatakan bahwa formulasi-formulasi itu dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana sifat dasar rezim dan cara kerja rezim serta untuk menjelaskan dalam kondisi seperti apa rezim itu akan muncul, bagaimana mereka dijaga dan berubah, serta proses-proses apa yang menyebabkan rezim berubah.
Konsep perkembangan rezim sendiri berakar dari karakter politik internasional klasik sebagai hubungan antara entitas berdaulat yang digunakan untuk memperkuat posisi mereka masing-masing dalam dunia internasional, yang pada akhirnya hanya dapat bergantung pada diri mereka sendiri, dan memiliki kekuatan untuk memaksa. Para scholars sendiri menggunakan istilah anarki sebagai metafor untuk mendeskripsikan sebuah hubungan antarnegara, memberikan citra bagi nation-state yang dianggap sebagai aktor yang mampu mempertimbangkan setiap opsi-opsi yang tersedia, dan kemudian menentukan opis-opsi mana saja yang akan dipilih secara independen dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan maksimal yang akan mereka peroleh. Jadi, menurut pandangan dunia anarki, negara adalah sebuah entitas berdaulat yang dapat menentukan strategi yang diambil secara mandiri, menentukan program-program apa saja yang akan mereka lakukan dan menentukan keputusan apa saja yang akan diambil secara pribadi. (Stein, 1983; 115)
Hasil yang muncul dari interaksi negara-negara dalam konstelasi dunia internasional adalah keputusan yang mandiri yang merupakan fungsi dari kepentingan dan preferensi mereka sendiri. Keputusan yang dihasilkan pun beragam, tergantung pada kepentingan masing-masing aktor, dimana hasilnya dapat berkisar tentang konflik murni atau tidak ada terjadi konflik sama sekali. Dunia anarki sendiri menyatakan rezim tidak dibutuhkan ketika masing-masing negara dalam menghasilkan sebuah keputusan yang mereka inginkan, melalui pertimbangan yang independen sehingga tidak ada konflik yang muncul. Dan juga selama tingkah laku negara-negara dalam konstelasi dunia internasional terjadi tanpa paksaan (unconstrained) dan keputusan yang diambil secara mandiri, maka tidak dibutuhkan adanya suatu rezim. Kapan rezim dibutuhkan? Rezim dibutuhkan ketika masing-masing negara dalam menghasilkan sebuah keputusan yang mereka inginkan tidak melalui pertimbangan yang independen sehingga memunculkan suatu konflik. Dan juga rezim hadir ketika selama tingkah laku negara-negara dalam konstelasi dunia internasional terjadi dengan paksaan dan keputusan yang diambil tidak secara mandiri. (Stein, 1983; 117)
Namun, di sisi lain terdapat suatu kondisi dimana ada dorongan bagi para aktor untuk tidak mengambil keputusan secara mandiri disebabkan karena keputusan yang dibuat secara mandiri tidak menghasilkan keuntungan atau hasil yang diinginkan apabila dibandingkan dengan hasil yang dicapai melalui pembuatan keputusan yang dilakukan secara bersama. Kondisi ini diistilahkan suatu dilemma oleh Arthur Stein, dimana terdapat dua macam dilema yakni: dilemmas of common interests dan dilemmas of common aversions. (Stein, 1983; 117)
Dilemmas of common interest muncul ketika pembuatan keputusan secara independen menyebabkan kesetimbangan (equlibirium) yang bersifat pareto-deficient (parote lemah) yakni hasil mana yang akan dipilih semua aktor lebih memilih hasil lain yang diberikan daripada hasil kesetimbangan (equilibrium). Contoh klasik dari keadaan dilemmas of common interest adalah “the prisoners’ dilemma”, dimana aktor yang memiliki strategi dominan menghasilkan hasil (outcome) yang bersifat Pareto-lemah. (Stein, 1983; 120) Sedangkan Dilemmas of common aversions, rezim ada untuk memberikan sebuah solusi ketika terjadi dilemmas of common aversions. Tidak seperti yang terjadi di dilemmas of common interest, di mana aktor memiliki kepentingan yang sama untuk menjamin hasil tertentu yang disepakati, dalam dilemmas of common aversions, aktor-aktor dalam rezim memiliki kepentingan yang sama untuk menghindari hasil tertentu (outcome). Situasi seperti ini terjadi ketika aktor dengan strategi kontingen tidak mengharapkan adanya hasil tertentu yang sama dan diinginkan oleh semua pihak melainkan berharap pada terciptanya suatu hasil tertentu (outcome) yang memang ingin dihindari oleh semua pihak. Kondisi ini menghasilkan satu set situasi dengan adanya multiple equilibria (dua equilibria terjadi jika hanya terdapat dua aktor dengan masing-masing aktor tersebut sama-sama memiliki dua pilihan) sehingga membutuhkan adanya koordinasi antara para aktor jika para aktor tersebut menghindari hasil tertentu (outcome). Adanya dilemmas of common aversions ini pada akhirnya membuat para aktor untuk menghindari pembuatan keputusan secara mandiri dan lebih memilih membuat keputusan secara bersama. (Stein, 1983; 125)
Rezim muncul karena para aktor melupakan pengambilan keputusan secara independen untuk menghadapi dilemmas of common interests dan dilemmas of common aversions serta bagaimana rezim dapat mengatasi dilemma tersebut. (Stein, 1983; 127) Dengan kata lain, rezim ada untuk menangani dilemmas of common interests dan untuk memecahkan dilemmas of common aversions. Dilemmas of common interests terjadi ketika hanya terdapat satu hasil yang equilibrium yang sifatnya deficient (tidak sempurna) bagi semua aktor yang terlibat didalamnya. Dengan kata lain, dilemmas of common interests ini muncul ketika mutually desire para aktor bukan sebagai equilibrium outcome, oleh karena itu masing-masing aktor harus berkolaborasi karena kolaborasi yang dilakukan oleh masing-masing aktor tersebut penting untuk menentukan pola tingkah laku yang ketat dan memastikan bahwa tidak satupun aktor-aktor yang melakukan kecurangan. Karena setiap aktor membutuhkan jaminan bahwa aktor yang lain juga akan menghindari pilihan rasional yang ada, dan juga kolaborasi disini memerlukan tingkat formalisasi yang tinggi dari para aktor yang terkait didalamnya. (Stein, 1983; 128) Sebaliknya, rezim juga dimaksudkan untuk menghadapi dilemmas of common aversions dimana disini yang diperlukan hanya koordinasi yang dilakukan oleh masing-masing aktor. Karena situasi yang dimaksudkan disini memiliki multiple equilibria, dan rezim disini diciptakan hanya untuk memastikan bahwa hasil tertentu akan dihindari. (Stein, 1983; 129-130)
Konseptualisasi rezim sendiri adalah interest-based. konseptualisasi ini kadang juga menjelaskan mengapa perilaku aktor-aktor yang sama menghasilkan keputusan yang independen dibawah rezim itu sendiri. Konsep ini juga menjelaskan peran institusi internasional yang sering disamakan dengan rezim. Bahkan para scholars yang menyadari bahwa rezim tidak perlu dilembagakan masih menyarankan agar rezim dilembagakan yang merupakan salah satu dimensi utama mereka. rezim tidak dapat di dilembagakan dan organisasi internasional tidak perlu menjadi sebuah rezim, meskipun mereka bisa menjadi sebuah rezim. Contohnya adalah United Nations yang merupakan sebuah organisasi internasional yang bukan sebuah rezim. (Stein, 1983; 133)
Kesimpulan
Dari review mengenai artikel “Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world” yang ditulis oleh Arthur A. Stein. penulis dapat menyimpulkan bahwa Stein berusaha untuk mengembangkan konseptualisasi rezim yang berfungsi untuk membatasi perilaku nasional (national behavior) dan untuk membentuk reaksi internasional. Menurut dunia anarki sendiri, rezim tidak dibutuhkan ketika masing-masing negara dalam menghasilkan sebuah keputusan yang mereka inginkan, melalui pertimbangan yang independen sehingga tidak ada konflik yang muncul. Dan juga selama tingkah laku negara-negara dalam konstelasi dunia internasional terjadi tanpa paksaan (unconstrained) dan keputusan yang diambil secara mandiri, maka tidak dibutuhkan adanya suatu rezim. Kapan rezim dibutuhkan? Rezim dibutuhkan ketika masing-masing negara dalam menghasilkan sebuah keputusan yang mereka inginkan tidak melalui pertimbangan yang independen sehingga memunculkan suatu konflik. Dan juga rezim hadir ketika selama tingkah laku negara-negara dalam konstelasi dunia internasional terjadi dengan paksaan dan keputusan yang diambil tidak secara mandiri. Dalam dunia anarki sendiri juga dijelaskan ketika para aktor mengalami dilemma dalam mengambil sebuah keputusan dan rezim hadir untuk membantu para aktor menghadapi dilemma tersebut. Pembuatan keputusan dalam rezim di dunia anarki sendiri tergantung pada dilema yang dihadapi, jika dilemanya berkenaan dengan common interests maka keputusan diambil dengan cara berkolaborasi, sementara jika dilemanya berkenaan dengan common aversions maka keputusan diambil dengan cara berkoordinasi.
Daftar Pustaka
A. Stein, Arthur, ‘Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world’ dalam D. Krasner, Stephen(ed), International Regimes,  Cornell University Press, Ithaca and London, hal. 115-140.