Kamis, 10 November 2011

Konstruktivisme



Konstruktivisme
Setelah sebelumnya kita telah membahas dan memahami mengenai pemahaman mengenai teori kritis serta mengenai English School. Dalam review kali ini penulis akan membahas materi mengenai konstruktivisme.
Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Konstruktivisme ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional, yaitu realisme dan liberalism. Serta konstruktivisme bertujuan untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis. (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/)
Konstruktivisme merupakan metodologi lama yang dapat dilacak kembali paling tidak pada tulisan abad ke-18 dari Giambattista Vico (Pompa1982). Teoritisi konstruktivis HI terkemuka adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), Alexander Wendt (1992), dan John Rugie (1998). Menurut konstruktivis, dunia sosial bukanlah sesuatu yang given; dunia sosial bukan sesuatu “di luar sana” yang hukum-hukumnya dapat ditemukan melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan melalui teori ilmiah, seperti yang dikemukakan oleh kaum behavioralis dan kaum positivis. Melainkan, dunia sosial merupakan wilayah intersubjektif; dunia sosial yang sangat berarti bagi masyarakat yang mebuatnya dan hidup di dalamnya, dan yang memahaminya. Dunia sosial dibuat atau dibentuk oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. (Jackson & Sorensen, 2009:307)
Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Berbeda dengan neorealis dan marxis, misalnya, yang menekankan pada struktur material hanya dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Kedua, kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Ketiga struktur dan agent saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan serta, pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/)

Argument via media realism & idealisme

Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt, memiliki kesamaan dengan realis dalam artian keduanya memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara sebagai aktor-aktor tunggal dan mengabaikan semua proses yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut. Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang  penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa. Posisi ini ditujuukan dengan jelas oleh Wendt melalui judul dari salah satu karya utamanya, ‘Anarchy is what states make of it’ (1992). (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/). Mereka adalah para pemikir teori “Kosmopolitan” daripada pemikir state-centric, pemikir solidaris daripada pemikir mengenai keberagaman atau pluralis, dan teori internasionalnya memiliki karakter yang progresif bahkan karakter penganut dalam hal bertujuan mengubah dunia menjadi lebih baik. Perubah sosial revolusioner adalah tujuannya. Hal ini menimbulkan munculnya dunia ideal semacam itu, apakah dunia ideal di dasarkan pada agama revolusioner seperti Kristen, atau ideologi revolusioner, seperti liberalisme republikan atau Marxisme-Leninisme. Bagi revolusionis, sejarah bukan hanya potongan kejadian dan peristiwa. Melainkan sejarah memiliki tujuan, manusia memiliki takdir. Kaum revolusionis optimis mengenai sifat manusia: mereka percaya pada kesempurnaan manusia. Tujuan akhir sejarah Internasional adalah untuk memungkinkan manusia mencapai pemenuhan diri dan kebebasan. Bagi Kant, revolusi menimbulkan pembentukan sistem negara republik yang bersamaan dapat membangun perdamaian abadi. Bagi Marx revolusi menimbulkan penghancuran negara kapitalis, menggulingkan sistem kelas yang menjadi landasannya, dan membentuk masyarakat tanpa kelas. Ketika revolusi itu dicapai, manusia tidak hanya akan terbebas tetapi juga bersatu kembali, dan tidak ada tempat baik bagi negara maupun bagi hubungan Internasional. Revolusionisme atau konstruktivisme pada sisi ekstrim adalah pernyataan bahwa satu-satunya masyarakat nyata di muka bumu adalah masyarakat dunia yang terdiri dari manusia, yaitu peradaban manusia. (http://msugiono.staff.ugm.ac.id/).
Kritik Terhadap Neoliberalisme
Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal. Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka. Pendukung antiglobalisasi adalah pihak yang paling lantang menentang neoliberalisme, terutama sekali dalam implementasi "pembebasan arus modal" tetapi tidak ada pembebasan arus tenaga kerja. Salah satu pendapat mereka, kebijakan neoliberal hanya mendorong sebuah "perlombaan menuju dasar" dalam arus modal menuju titik terendah untuk standar lingkungan dan buruh. (http://islamlib.com/)
Kesimpulan
Dari review di atas didapatkan sebuah kesimpulan mengenai konstruktivisme. Konstruktivisme ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya perang Ddingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional, yaitu realisme dan liberalism. Serta konstruktivisme bertujuan untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis. Konstruktivisme berpendapat bahwa identitas dan kepentingan dalam politik internasional tidak stabil. Hal ini berlaku untuk identitas negara-bangsa berdaulat seperti anarki internasional. Yang penting adalah untuk melihat bagaimana identitas dan kepentingan dibangun pleh konstruktivisme serta bagaimana mereka dibuat atau diproduksi dalam dan melalui spesifik internasional interaksi (Onuf, 1989; Wendt, 1994). (Weber, 2001; 60). Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang  penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa. Posisi ini ditujuukan dengan jelas oleh Wendt melalui judul dari salah satu karya utamanya, ‘Anarchy is what states make of it’ (1992). Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal.
Daftar Pustaka
Jackson, Robert & Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Weber, Cynthia.2001. International Relations Theory: A Critical Introduction. New York: Routledge.
Fundamentalisme dan Neoliberalisme. http://islamlib.com/id/artikel/fundamentalisme-dan-neoliberalisme/ [6 Juni 2010]

0 komentar:

Posting Komentar