Post Modernisme
Setelah sebelumnya kita telah membahas dan memahami mengenai pemahaman mengenai konstruktivisme. Dalam review kali ini penulis akan membahas materi mengenai postmodernisme.
“Postmodernisme” adalah kata yang sangat kontoversial. Di satu pihak istilah ini sering digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok, baik di bidang seni maupun filsafat, yaitu dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung. Di pihak lain, kenyataan bahwa istilah itu telah memikat minat masyarakat luas bahkan hingga keluar akademik sebetulnya bahwa tentulah ia memiliki ketentuan untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental yang kini sedang kita alami. (Sugiharto, 1996: 15). Postmodernisme adalah pendekatan yang melihat dunia secara pluralis, liberalis, namun tidak radikal. Dunia dipandang secara kultural dan historis dengan adanya perbedaan yang amat dihargai termasuk penolakan terhadap representasi karena tidak mencerminkan adanya perbedaan yang sebenarnya. Postmodernism lebih diarahkan untuk menggambarkan keadaan yang ada seperti dunia yang dekonstruktif (yang ditelusuri secara permukaan bahwa dunia paska- modern adalah seperti ini, atau seperti itu). (www.scribd.com)
Genealogy of Neorealism
Postmodernisme tetap termasuk yang paling kontroversial dari teori-teori dalam humaniora dan ilmu sosial. Memang, setelah serangan teroris 11 September, beberapa komentator melangkah lebih jauh dengan menyalahkan postmodernisme (Burchill & Linklater, 2005: 161). Genealogy, yang dapat diartikan sebagai keperluan untuk memahami sesuatu dalam hubungan internasional dengan memperhatikan latar belakangnya, melihat secara lebih luas, dan menggali secara lebih dalam, bukan untuk mencari realitas yang hilang namun untuk mempertahankan validitas realitas tersebut sebagai dasar untuk berargumentasi (www.scribd.com). Genealogy juga sederhananya adalah suatu jenis pemikiran historis yang mengungkap dan mencatat signifikansi dalam relasi-pengetahuan. Hal ini barangkali dapat dipahami dengan memperhatikan serangan Nietzhesche yang membabi buta terhadap konsep kebenaran dan nilai-nilai moral dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morals. Nietzsche berupaya mengungkapkan, dengan menentang filsafat, bagaimana sesuatu dapat terkontaminasi asal-usulnya oleh sesuatu yang tampak sebagai antitesis. Bahkan, menurut Nietzsche , kebenaran tidak lain adalah sebuah kesalahan atau ketidakbenaran yang mengkristal menjadi kebenaran melalui proses kesejarahan yang panjang. Di dalam relasi antar pengetahuan, kekuasaan, sejarah, dan nilai ilmiah genealogi memusatkan kritiknya. (Burchill & Linklater. 2009: 247-248).
Dekonstruksi Diplomasi
Kaum postmodernis adalah kaum dekonstruktivis (Jackson & Sorensen, 2009: 304). Sebenarnya dekonstrusi sendiri adalah agenda utama dari postmodernisme. Seperti power berubah ke arah knowledge atau ilmu pengetahuan. Serta membongkar kelas-kelas power di balik perkembangan ilmu HI (www.docstoc.com). Semangat postmodernisme mencoba mendekonstruksi kembali konstruksi-konstruksi yang ada namun tanpa memberikan konstruksi yang baru sebagai alternatif, karena bagi kaum post modernisme segala sesuatu adalah relatif, atau di dunia ini tidak ada yang mutlak. Suatu konstruksi (baik konstruksi pemikiran) akan terus dipertanyakan tentang kebenarannya, dan bisa berubah-ubah setiap saat, karena mustahil menemukan kebenaran yang hakiki (www.gloria.net).
Intertextual of International Relations
Der Derian berpendapat bahwa posmodernisme berkaitan dengan upaya untuk menunjukkan adanya ‘saling pengaruh tekstual di balik kekuasaan politik’. Lebih khusus, posmodernisme berkenaan dengan upaya untuk menunjukkan adanya saling pengaruh tekstual di antara kekuasaan-kekuasaan politik, dimana efek tekstualitas tidak berada di balik politik itu sendiri, namun secara intrinsik berada di dalamnya. ‘ Realitas’ kekuasaan politik senantiasa terbentuk melalui tekstualitas serta menghasilkan suatu bentuk representasi. Tekstualitas merupakan tema umum postmodern. Tekstualitas berasal dari definisi ulang Derrida mengenai ‘teks’ dalam Of Grammatology. Adalah penting untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud Derrida dengan teks. Derrida tidak membatasi arti teks atas literature ataupun gagasan, seperti yang telah disalahartikan oleh sejumlah orang. (Burchill & Linklater, 2009; 253)
Anti Positivis
Anti-positivisme sangat erat kaitannya dengan anti-postivisme karena mereka menolak semua arguman dari para pemikir postivis. Anti-positivisme memandang dunia sosial adalah dunia yang relatif dan hanya bisa dimengerti oleh individu yang terlibat langsung pada aktivitas yang dipelajari. Positivisme menggambarkan epistemologi untuk menjelaskan dan memprediksi apa yang akan terjadi pada dunia sosial dengan mencari persamaan dan hubungan sebab-akibat antara elemennya. Positivisme memandang bahwa perkembangan pengetahuan adalah proses kumulatif dimana penemuan baru ditambahkan dan hipitesis yang salah dibuang. Sedangkan , anti-positivisme cenderung menolak bahwa ilmu pengetahuan dapat membuat generalisasi pengetahuan yang objektif dari segala sesuatu. (http://bebas.vlsm.org)
Ontologisme
Ontologi merupakan hasil estimologi Cartesian dan hasil okasionalisme. Sebagai landasan ontologis, hal itu sebenarnya lebih menunjukkan bahwa postmodernisme sesungguhnya tidak memiliki ontologisme, landasan otologis, sebagaimana modernisme, karena sama sekali memang tidak mendefinisikan, menetapkan, atau memastikan jawaban “onto”, tentang apa, esensi “apa” universal sebagaimana modernisme. Sebagaimana yang ditegaskan Derrida (Grenz, 2001: 14-15) bahwa postmodernisme memang tidak memiliki tujuan pencarian “hakikat tentang apa”, bahkan sebaliknya berusaha melenyapkan ontologisme tersebut. Terlepas dari maknanya yang esensial, hakiki, yang memang dihindarkan postmodernisme, yang dapat ditegaskan dalam hal ini barangkali adalah bahwa konsep tentang apa yang dimiliki postmodernisme adalah “apa yang beragam”, “apa yang beranekaragam”, atau “apa yang majemuk”—oleh karena itu tidak dapat direduksi, digeneralisasi, disebabkan keberagaman tersebut juga berarti keberbedaan, yang memang tidak dapat ditunggalkan, diuniversalkan. Didasarkan konsep “keanekaragaman”, “beranekaragam”, atau “majemuk” itu pula maka postmodernisme tidak memiliki landasan epistema paradigmatik yang juga tunggal, satu-satunya, sebagaimana modernisme dengan satu-satunya epistema yakni rasionalisme. (www.culturalstudiesnow.com)
Kesimpulan
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan dimana “Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini. Postmodernisme tetap termasuk yang paling kontroversial dari teori-teori dalam humaniora dan ilmu sosial. Memang, setelah serangan teroris 11 September, beberapa komentator melangkah lebih jauh dengan menyalahkan postmodernisme. Genealogy juga sederhananya adalah suatu jenis pemikiran historis yang mengungkap dan mencatat signifikansi dalam relasi-pengetahuan. Hal ini barangkali dapat dipahami dengan memperhatikan serangan Nietzhesche yang membabi buta terhadap konsep kebenaran dan nilai-nilai moral dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morals. Kaum postmodernis adalah kaum dekonstruktivis. Sebenarnya dekonstrusi sendiri adalah agenda utama dari postmodernisme. Seperti power berubah ke arah knowledge atau ilmu pengetahuan. Serta membongkar kelas-kelas power di balik perkembangan ilmu HI. Der Derian berpendapat bahwa posmodernisme berkaitan dengan upaya untuk menunjukkan adanya ‘saling pengaruh tekstual di balik kekuasaan politik’. Lebih khusus, posmodernisme berkenaan dengan upaya untuk menunjukkan adanya saling pengaruh tekstual di antara kekuasaan-kekuasaan politik, dimana efek tekstualitas tidak berada di balik politik itu sendiri, namun secara intrinsik berada di dalamnya. Anti-positivisme sangat erat kaitannya dengan anti-postivisme karena mereka menolak semua arguman dari para pemikir postivis. Anti-positivisme memandang dunia sosial adalah dunia yang relatif dan hanya bisa dimengerti oleh individu yang terlibat langsung pada aktivitas yang dipelajari. . Sebagaimana yang ditegaskan Derrida (Grenz, 2001: 14-15) bahwa postmodernisme memang tidak memiliki tujuan pencarian “hakikat tentang apa”, bahkan sebaliknya berusaha melenyapkan ontologisme tersebut
Daftar Pustaka
Burchill, Scott & Andrew Linklater.2009.Teori-Teori Hubungan Internasional.Bandung:Nusa Media.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg.2009.Pengantar Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Sugiharto, Bambang.1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sociological Paradigm.http://bebas.vlsm.org/v06/Kuliah/Seminar-MIS/2007/208/208-01-SociologicalParadigm.pdf [7 Juni 2010]
Postmodernisme: Arus Kebudayaan dan Sistem Pengetahuan Kebudayaan.http://www.culturalstudiesnow.com/files/Download/CSNart2.pdf [7 Juni 2010]
“PerlunyaPost-Theory dalam Dunia yang „Sedang Mencari‟”.http://www.scribd.com/doc/26261195/Perlunya-Post-Theory-Dalam-Dunia-Yang-Sedang-Mencari [7 Juni 2010]
0 komentar:
Posting Komentar