Sejarah terbentuknya Indonesia, kata “Indonesia” sendiri pertama kali digagas pada tahun 1850 dalam bentuk “Indu-nesians” oleh pelancong dan pengamat sosial asal Inggris, George Samuel Windsor Earl. Earl ketika saat itu sedang mencari istilah etnografis untuk menjabarkan “cabang ras Polinesia yang menghuni Kepuluan Hindia” atau “ras-ras berkulit cokelat di Kepulauan Hindia”. Namun, setelah menciptakan istilah baru itu, Earl langsung membuangnya—karena terlalu “umum”—dan menggantinya dengan istilah yang lebih khusus yaitu “Melayunesians”. Seorang kolega Earl, James Logan, tanpa mengindahkan keputusan Earl, memutuskan bahwa “Indonesian” sebenarnya adalah kata yang lebih tepat dan benar untuk digunakan sebagai istilah geografis bukan etnografis. Jadi itulah sejarah asal-usul nama Indonesia muncul. (R.E Elson, 2008:2)
Sebelum abad kedua puluh, Indonesia belum ada, dan karena itu pula orang Indonesia pun belum ada. Di kepulauan yang membentang antara benua Asia dan Australia ini dulu terdapat banyak negara besar dan kecil yang sebagian disatukan secara longgar oleh kekuasaan penjajahan Belanda yang pelan-pelan menguat. Namun, Indonesia yang sekarang telah hampir berumur 65 tahun dulunya adalah sebuah negara yang dihuni oleh masyarakat yang memiliki sikap kedaerahan yang kental dan tetap menjadi motif utama dalam identitas politik dan budaya disini. Yang ada ketika itu bukanlah satu bendera, melainkan banyak bendera. (R.E Elson, 2008:1)
Dalam review ini, saya akan mencoba menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pudarnya gagasan tentang Indonesia terutama mengenai konsep manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis.
Sebenarnya gagasan pembentukan Indonesia telah muncul sejak akhir dasawarsa kedua puluh. Namun penjajahan yang begitu lama menjadi sebuah salah satu faktor halangan tersendiri dalam pembentukan konsep Indonesia ini. Kita telah diperkosa oleh Belanda, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang telah membentuk pola pikir dan struktur masyarakat Indonesia pada saat itu (Mochtar Lubis, 2001:8). Salah satunya yang ditinggalkan dari masa penjajahan mereka pada saat itu adalah sebuah struktur kelas yang mengelompokkan Indonesia atau negara Hindia waktu itu menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa : orang-orang Belanda, dan negara Eropa lain serta keturunannya, golongan Timur Asing : Orang Cina, Arab, India, Pakistan, dan lain-lain, golongan Bumi Putera : orang asli Indonesia yang disebut Inlander. Dalam golongan pribumi sendiri terbagi menjadi beberapa golongan yaitu borjuis pribumi dan orang biasa. Berbagai kelas dan golongan penduduk yang dibentuk pada saat masa penjajahan ini menjadikan kurang adanya rasa solidaritas di antara mereka, kepentingan kelas dan golongan menjadi semakin mendominasi rasa nasionalisme mereka. Pengelompokkan kelas ini juga membuat rakyat Indonesia terpecah belah. Kaum borjuis pribumi yang egois, anti rakyat, dan mengagungkan kedudukan membuat gagasan Indonesia menjadi semakin sulit untuk direalisasikan karena tidak adanya dukungan dari mereka yang notabenenya memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan kaum pribumi. (S.H. Alatas, 1988:115)
Bukan hanya sikap kedaerahan yang begitu kental di Indonesia, masa penjajahan yang begitu lama di Indonesia, sikap manusia Indonesia sendiri juga mempengaruhi konsep tentang gagasan Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul “Manusia Indonesia”.
Bagaimana konsep Manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis? Orang Indonesia di jaman penjajahan Belanda. Orang Belanda di jaman VOC menanggap manusia Indonesia itu amat khianat, tidak mau memegang teguh perjanjian, amat suka membunuh, mau berperang saja, tidak jujur, seperti binatang, beestachtig, maha kejam (Mochtar Lubis, 2001:3). Selain itu, menurut orang Belanda, orang Indonesia pada jaman kapitalisme kolonial dikenal sebagai masyarakat yang pemalas dan sangat merugikan bagi orang Belanda karena orang Indonesia dianggap tidak becus dalam bekerja. (S.H. Alatas, 1988:100)
Anggapan umum mereka masih saja orang Indonesia ini kurang sanggup melakukan kerja otak yang tinggi (hooge geestarbeid), dan orang “inlander” pada umumnya sedang-sedang saja (middlematig) dalam beragama, gairah kerja, kejujuran, rasa kasihan, dan rasa terima kasihnya. Tetapi disamping itu, manusia Indonesia diakui juga bersifat hormat, tenang, dapat dipercaya, baik, royal, ramah pada tamu, dan lembut. Namun ada juga yang mengatakan, manusia Indonesia itu tidak suka memikirkan yang susah-susah, tak punya pendirian tak punya kemampuan, tak bisa mengambil keputusan. (Mochtar Lubis, 2001:3)
Tidak hanya itu orang Irian mereka katakan onststuimig, lekas marah, suka hiruk pikuk; orang Makassar dan Bugis sangat ulet menahan lebih dan serba kekurangan; orang Bali punya semangat yang hidup (levendige geest), brutal, rajin bekerja; dan orang Ambon dianggap intelligent, cinta kemerdekaan; orang Melayu dianggap bergairah (harstochtelijk), kejam, tertutup, curiga, jujur, ramah kepada tamu, formil; orang Batak, Aceh, Mandailing, Minang, termasuk orang yang keras kepala (koppig): orang Jawa kecil kecenderungannya untuk cepat naik darah, tinggi hatinya terlalu besar, dan dia lebih suka kehilangan uang dan penghasilan jika mereka merasa dirinya tidak diperlakukan sesuai dengan kedudukannya, dan juga dikatakan orang Jawa …. maakteen goel soldaat. (Mochtar Lubis, 2001:4)
Tahun 1416, seorang Cina beragama Islam, bernama Ma Huan, yang menjabat juru bahasa dan sekretaris Cheng-Ho, yang datang ke Nusantara dan singgah di Jawa, menulis bahwa di Jawa ada 3 macam manusia. Yang pertama orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Jawa, pakaian dan makanan mereka bersih dan baik. Yang kedua adalah orang Cina yang melarikan diri dan menetap di Jawa, apa yang mereka makan dan pakaian mereka bagus sekali. Dan yang terakhir adalah orang pribumi asli yang amat buruk dan jorok sekali. Mereka berjalan tanpa rambut disisir, kaki telanjang, dan mereka benar-benar percaya kepada setan dan hal-hal yang berbau mistik. Apa yang mereka makan juga sangat kotor, seperti ular, semut, dan berbagai macam serangga dan cacing yang hanya dipanggang sebentar saja di atas api (Mochtar Lubis, 2001:4). Apabila kita melihat fakta yang terjadi sekarang ini dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ma Huan, masih banyak orang Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan dan menggunakan pakaian yang tidak layak pakai dan hanya makan apa adanya, bahkan nasi basi pun mereka makan dengan lahapnya. Ironisnya, bahkan manusia Indonesia juga ada yang memakan mayat yang telah dikubur hanya untuk mendapatkan sebuah kekuatan gaib atau benda-benda pusaka.
Bagaimana pula dengan gambaran popular manusia Indonesia yang beragama? Ideal manusia Indonesia yang beragama adalah manusia yang mengabdi pada ajaran-ajaran agama mereka, yang mengasihi sesama manusia, dan bagi orang Nasrani yang memenuhi sepuluh suruhan (Mochtar Lubis, 2001:5). Namun, sekarang marilah kita lihat apa yang terjadi sekarang di sekeliling kita. Ternyata sampai kini masih banyak masyarakat Indonesia yang mempercayai mitos dan mistik yang notabene merupakan warisan dari jaman animisme yang dianut oleh nenek moyang kita. Bahkan ironisnya, orang-orang Indonesia yang kini sudah amat rasional, cerdas, dan telah menjadi seorang ahli yang berkecimpung di dunianya masing-masing, banyak juga yang masih tidak dapat menghindarkan diri dan tertarik ke dalam mistik atau yang biasa disebut dengan gerakan kebatinan. Segala cara mereka lakukan, baik karena hanya ingin berkuasa, mendapat jabatan yang tinggi, ingin mempertahankan kekuasaan atau kedudukan, atau hanya sekedar ingin mengumpulkan harta tanpa memperhatikan baik dan buruknya bagi mereka sendiri.
Salah satu kelemahan bangsa kita menurut Mochtar Lubis adalah kita tidak berdaya melakukan pilihan, semuanya kita terima, dan kita biarkan hidup bersama, tanpa mengganggu jiwa seperi yang dilakukan kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih percaya pada mitos dan hal-hal yang berbau mistik. (Mochtar Lubis, 2001:8)
Dari sejarah masyarakat Indonesia di jaman dahulu kala, manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, pertama ciri manusia Indonesia yang paling menonjol adalah munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang. Seperti contoh, manusia Indonesia mengutuk korupsi, tetapi kita tetap saja melakukan korupsi, dan kasus korupsi dari hari ke hari semakin bertambah banyak (Mochtar Lubis, 2001:18). Ciri yang kedua manusia Indonesia adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup popular di mulut manusia Indonesia untuk mengelak dari perbuatan yang telah dilakukannya (Mochtar Lubis, 2001:21). Ciri yang ketiga adalah masih kuatnya jiwa feodalisme dalam manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 2001:23). Ciri yang keempat adalah masyarakat kita masih percaya dengan yang namanya takhyul. Dulu dan sekarang di sekeliling kita masih banyak yang percaya dengan hal-hal yang berbau mistis (Mochtar Lubis, 2001:27). Ciri yang kelima adalah artistik. Menurut Mochtar Lubis, ciri artistik manusia adalah yang paling menarik dan mempesonakan, dan merupakan sumber harapan bagi hari depan manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 2001:33). Ciri yang keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah dan sering mengganti keyakinan mereka (Mochtar Lubis, 2001:34). Dan ciri yang lain yang melekat pada manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis adalah tidak hemat, cenderung boros, senang berpakaian bagus, berpesta-pesta. Manusia Indonesia tidak suka bekerja keras kecuali terpaksa, ingin menjadi miliuner seketika, membeli atau memalsukan gelar sarjana. (Mochtar Lubis, 2001:36)
Menurut penulis, sebagai salah satu manusia Indonesia dengan apa yang sinisme mengenai manusia Indonesia yang disampaikan oleh Mochtar Lubis memang benar adanya. Dan ciri-ciri manusia Indonesia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh apabila dikaitkan dengan konsep memudarnya gagasan tentang Indonesia. Bagaimanapun juga, kita sebagai manusia Indonesia harus mengakui bahwa nilai-nilai kesopanan dan kesantunan serta moral yang tinggi dari kita sendiri sebagai manusia Indonesia semakin lama semakin memudar. Sekarang ini kita makin sulit saja semakin sulit saja menemukan manusia Indonesia yang mau menegakkan nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Semakin lama, bangsa ini telah menjadi bangsa yang lebih suka mengabaikan etika dan nilai-nilai moral yang ada. Tak peduli lagi itu baik atau buruk, kecuali bila itu berhubungan dengan kebaikan bagi diri mereka sendiri seperti yang dikatakan diungkapkan oleh Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang brutal dan tak bermoral. Segala macam bentuk pekerjaan, jabatan, golongan, kekayaan, kebijakan, dan kekuasaan, dengan bermacam relasi sosialnya tak akan lepas dengan negatifitas penjelmaannya. Sikap tidak mau kerja kerja keras, ingin mendapatkan kekayaan tanpa harus membanting tulang sampai kini masih identik dengan manusia Indonesia. Selain itu, melakukan hal-hal gaib hanya untuk mendapatkan benda-benda pusaka masih kerap dilakukan oleh sebagian manusia Indonesia. Gagasan tentang Indonesia semakin lama semakin terkikis oleh sikap manusia Indonesia yang suka berpura-pura atau munafik. Disisi lain, bangsa yang besar ini semakin lama akan menjadi bangsa yang tak lagi mau mengenal arti penting kesopanan dan keramahan, dan arti penting kebaikan dan kejujuran. Bahkan ironisnya, mereka, manusia-manusia Indonesia tak lagi peduli jika kemajuan yang telah mereka peroleh itu berlumur dengan darah dan kotoran. Terlepas dari itu semua, kita sendiri sebagai manusia Indonesia harus berani mengakui pada diri kita, bahwa sedikitnya semenjak kedaulatan Indonesia mendapat pengakuan, telah timbul jurang yang semakin besar antara pretense-pretensi nasional kita dalam pancasila, masyarakat pancasila, menegakkan rule of law, keadilan, kemakmuran yang merata dan adil, menjamin hak-hak kebebasan dan kemuliaan insan pembangunan dengan tingkah laku pribadi kita sebagai manusia Indonesia atau sebagai kelompok, dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat kita.
Namun, ada cara untuk mengatasi semua itu, kita manusia Indonesia dapat melakukan beberapa cara yaitu, Pertama, dari sejak kecil manusia-manusia Indonesia harus diperkenalkan dengan pendidikan moral-moralitas sebagai landasan kebudayaan dan keberadaban. Pendidikan moral sendiri dapat dilakukan dari lingkungan keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan bermasyarakat. Selain pendidikan moral, bangsa kita membutuhkan sosok panutan, dengan adanya sosok panutan yang baik dan dapat memberikan kehidupan yang lebih baik akan menuntun manusia Indonesia ke kehidupan yang lebih baik dan mulia pula.
Dan jika kita manusia Indonesia memahami betul konsep pembentukan Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan dengan menjunjung kebaikan dan kejujuran, atau menjadi bangsa beradab dengan mengamalkan kesopanan dan kejujuran, kita manusia Indonesia akan menjadi manusia seutuhnya yang benar-benar akan “diakui” oleh masyarakat internasional yang memiliki kharisma dan cita-cita juang yang tinggi.
Daftar Pustaka
Alatas, S.H.1988.Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu, dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial.Jakarta:LP3ES.
Elson, R.E.2008.“Asal-Usul Gagasan Indonesia”, dalam The Idea of Indonesia: Sejarah pemikiran dan gagasan.Jakarta: Serambi, pp.1-65
Lubis, Mochtar.2001.Manusia Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor, pp.1-53
0 komentar:
Posting Komentar