Comparing Deterrence, Defense & Compellence
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan deterrence, defense, compellance? Dalam review kali ini saya akan membahas tentang konsepsi ketiga teori tersebut. Konsep deterrence secara umum adalah strategi defensif yang dikembangkan setelah Perang Dunia I dan digunakan selama Perang Dingin. Hal ini terutama relevan berkaitan dengan penggunaan senjata nuklir, dan juga terkait dengan War on Terrorism.[1] Menurut Robert Jervis, teori deterrence atau pencegahan adalah sebuah teori yang muncul pada masa Perang Dingin dan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada masa tersebut. Di dalam teori ini, aktor berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan kekuatannya untuk menangkal serangan dari lawan, atau setidaknya menekan dan memaksa lawan untuk berpikir kembali untuk melakukan serangan.[2] Teori penangkalan dimanifestasikan kedalam sebuah strategi militer yang juga bertujuan untuk menangkal serangan negara lain atau pihak musuh dengan meningkatkan kemampuan militer baik fisik seperti alat utama sistem pertahanan (alutsista) maupun non fisik seperti doktrin militer.[3] Tujuan dari penggunaan militer tersebut agar pihak lawan sadar akan resiko yang mereka hadapi apabila melakukan serangan.[4] Misi utama dari strategi senjata nuklir Amerika Serikat madalah focus utama dari teori deterrence ini sendiri. Upaya ini dilakukan oleh Amerika Serikat dengan meningkatkan jumlah senjata nuklir mereka dalam skala yang besar untuk melawan senjata nuklir yang dimiliki Uni Soviet pada saat perang dingin antara kedua negara superpower ini.[5] Sebaliknya pun begitu, selama perang dingin Uni Soviet lebih mendekat ke arah strategi pelebaran pencegahan dalam menghadapi Amerika Serikat. Tidak hanya menempatkan pasukan di pusat pemerintahan Uni Soviet saja, tapi Uni Soviet juga berusaha melakukan pencegahan diseluruh wilayah Uni Soviet dari ancaman nuklir Amerika Serikat.[6]
Deterrence sendiri mengalami beberapa fase, diantaranya adalah dengan adanya diplomasi koersif pada tahun 1945-1962.[7] Diplomasi koersif adalah suatu diplomasi yang dilakukan dengan cara memaksa dengan tujuan agar orang lain atau pihak lain mau melakukan sesuatu untuk dirinya.[8] Ketika itu, negara-negara yang menikmati superioritas militer terhadap lawannya sering berpikir bahwa senjata adalah instrumen diplomasi untuk tujuan mengubah perilaku negara lain. Amerika Serikat yang merupakan negara nuklir pertama menikmati kekuatan senjata ini sampai 1949 saat Uni Soviet meledakkan percobaan nuklirnya.[9] Setelah diplomasi koersif, fase deterrence selanjutnya adalah Mutual Deterrence pada tahun 1962-1983. Pada saat superioritas nuklir AS mengalami erosi, para pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka tentang penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri. Setelah krisis rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan Uni Soviet ke arah perang nuklir, Washington memikirkan kembali penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh sebab itulah kemudian berkembang pemikiran di Washington bahwa senjata nuklir ini dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis menjadi senjata pencegah serangan. Perubahan kebijakan strategis ini dari compellence (pemaksaan) kedalam deterrence (penggetar/pencegah) adalah cara untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak lainnya. Tujuan strategi ini adalah mencegah serangan kepada pemilik nuklir tetapi juga sekutunya.[10] Menurut artikel yang saya baca, fase perkembangan deterrence yang terakhir adalah Mutual Assured Destruction pada tahun 1960-1970. Pada fase ini, kedua negara superpower sadar dalam arti kata kalau misalnya Amerika Serikat dan Uni Soviet sama-sama saling menyerang dengan senjata nuklir, mereka akan hancur secara bersama-sama pula.[11]
Dalam sebuah konsep strategi deterrence selalu kontras dengan defense. Defense adalah usaha negara/aktor untuk melindungi diri mereka dari serangan musuh. Deterrence dan defense terakhir kali lebih fokus kepada kemampuan militer. Ketika deterrence membahas sebuah ancaman hukuman, defense membahas tentang bagaimana cara menggagalkan tujuan musuh ketika peperangan dimulai.[12] Tujuan dari defense sendiri ini adalah untuk melawan pihak musuh atau penyerang demi meminimalkan kerugian setelah proses deterrence mengalami kegagalan.[13]
Sedangkan compellence adalah tindakan penggunaan kekuatan secara besar-besaran dengan maksud untuk memaksa lawan agar melakukan sesuatu atau menghentikan suatu tindakan yang sudah sedang dijalankan. Compellence ini dilakukan manakala deterrence sudah gagal. Compellence sendiri merupakan sub-bidang dari deterrence yang dikembangkan oleh Scheeling (1966). [14]Berawal dari peristiwa Krisis Misil Kuba pada tahun 1962, ketika itu Krisis misil Kuba dimulai saat pesawat tanpa awak AS menemukan sejumlah misil nuklir Sovyet ditempatkan di Kuba. Seminggu kemudian, Presiden John F. Kennedy mengutuk aksi Sovyet tersebut di televisi. Kennedy juga melancarkan blokade laut atas Kuba dan mengancam akan menyerang Sovyet jika misil tersebut diluncurkan ke AS. Sebagai imbalan penarikan misil tersebut, AS setuju untuk tidak menginvasi Kuba dan akan menarik misilnya dari Turki. Namun, keputusan Khrushchev ditentang dua sekutu utamanya, Cina dan Kuba. Presiden Kuba Fidel Castro bereaksi dengan mengusir warga Amerika dari markas militer Guantanamo. Pada 20 November 1962, AS mulai mencabut blokade laut atas Kuba. Lalu, pada akhir tahun, seluruh misil nuklir Sovyet ditarik dari Kuba dan AS menarik misilnya dari Turki pada 1963. Krisis Misil Kuba bukan hanya menyelematkan dunia dari tragedi perang atom, tapi bahkan membuat AS menahan diri untuk melancarkan agresi militer di Kuba. Peristiwa krisis misil Kuba tersebut merupakan cotoh kasus compellence yang berhasil dilakukan oleh presiden John.F.Kennedy terhadap pemimpin Sovyet pada saat itu.[15]
Kesimpulan
Dari review diatas mengenai deterrence, defense, dan compellence terdapat sebuah hubungan yang berkaitan. Kita mulai dari deterrence merupakan sebuah fenomena yang muncul pada Perang Dunia 1 dan lebih menghiasi pada masa Perang Dingin. Deterrence sedniri digunakan oleh sebuah aktor untuk menangkal serangan dari musuh dengan cara yang berbeda-beda, seperti 2 negara superpower Amerika Serikat dan Uni Soviet memakai teknologi nuklir untuk saling melindungi negara masing-masing dan untuk menangkal lawan untuk tidak menyerang negara tersebut karena apabila musuh nekat menyerang juga pihak musuh akan mendapatkan sebuah masalah besar. Sedangkan defense adalah wujud dari deterrence itu sendiri yaitu dengan melindungi wilayah / diri mereka sendiri terhadap serangan musuh. Sedangkan compellence sendiri adalah bagian dari deterrence, jadi compellence ada apabila deterrence gagal dalam menjalankan tugasnya. Contoh kasus compellence yang berhasil adalah peristiwa krisis misil Kuba di Teluk Babi pada tahun 1962.
Daftar Pustaka
Evan, Graham & Jeffrey Newnham.1998. The Penguin Dictionary of International Relations. England:ClaysLtd, St Lves plc.
Griffiths, Martin & Terry O’Callaghan.2007.International Relations: The Key Concepts. New York : Routledge.
Goodpaster, Andrew J & dkk.1997.Post Cold War: Conflict Deterrence. Washington D.C: National Academy Press.
Deterrence Theory.http://en.allexperts.com/e/d/de/deterrence_theory.htm, [20 April 2010]
Doktrin Strategi Perang Dingin dan Sesudahnya.2008.theglobalpolitics.com/?p=10, [20 April 2010]
Makalah Diplomasi Indonesia 1.2010.http://www.scribd.com/doc/24900321/Makala-Diplomasi-Indonesia-1, [20 April 2010]
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/201802?extension=doc&ft=1271772742<=1271776352&uahk=VGssQ3jXGc/bMsJLArPhExmWNyM, [20 April 2010]
Krisis Misil Kuba Berakhir.2008.http://dunia.vivanews.com/news/read/5570-krisis_misil_kuba_berakhir, [20 April 2010]
[2] http://www.scribd.com/document_downloads/direct/201802?extension=doc&ft=1271772742<=1271776352&uahk=VGssQ3jXGc/bMsJLArPhExmWNyM
[3] ibid
[4] Martin Griffiths & Terry O’Callaghan.2007.hal.73
[5] Goodpaster, Andrew J & dkk.1997.hal.77
[6] Martin Griffiths & Terry O’Callaghan.2007.hal.74
[7] theglobalpolitics.com/?p=10
[8] http://www.scribd.com/doc/24900321/Makala-Diplomasi-Indonesia-1
[9] theglobalpolitics.com/?p=10
[10] ibid
[11] ibid
[12] Martin Griffiths & Terry O’Callaghan.2007.hal.73
[13] one.indoskripsi.com/click/11662/0
[14] Graham Evans & Jeffrey Newnham.1988.hal.87
[15] http://dunia.vivanews.com/news/read/5570-krisis_misil_kuba_berakhir
0 komentar:
Posting Komentar