Politik luar negeri, pada awal kemerdekaan bangsa diprolramirkan menurut Rosihan Anwar adalah sebuah diskursus yang tidak banyak dikenal terra incognita dimana hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan dan pidato-pidato para pemimpin bangsa yang saat itu tidak banyak menyinggung masalah politik luar negeri. Namun, dalam semangat kemerdekaan yang masih berkobar, para pemimpin bangsa seperti Soekarno, Syahrir dan Hatta secara bertahap berusaha memikirkan dan merumuskan politik luar negeri indonesia yang paling cocok bagi kepentingan nasional indonesia. Yang mana kepentingan nasional yang utama dan paling penting saat itu adalah pengakuan dari dunia internasional atas kedaulatan negara indonesia yang telah diproklamasikan pada agustus 1945. Yang mana pada saat itu indonesia belum mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya dan eksistensinya sebagai negara oleh dunia internasional terutama pihak Belanda yang masih mengakui Indonesia sebagai negara jajahannya. Oleh karena itu, politik luar negeri indonesia pada awal kemerdekaan lebih ditujukan untuk mempertahankan kemerdekaan dan memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia pada saat itu. Dan untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya tersebut, soekarno berusaha menggunakan strategi penggalangan kekuatan internasional serta diplomasi walaupun pada kenyataannya mendapatkan pengakuan internasional atas republik Indonesia melalui cara diplomatik tidaklah semudah dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, politik luar negeri saat itu dijiwai oleh kekuatan bersenjata dan diplomasi. (Suryadinata:1998)
Presiden Soekarno menekankan penyelesaian konflik dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya dukungan internasional di samping juga mengandalkan kekuatan militer-angkatan bersenjata untuk menyelesaikan konflik Namun diplomasi juga tetap digunakan dalam upaya penyelesaian konflik. Yang mana walaupun kedua cara tersebut pada prakteknya berbeda, tetapi kedua taktik tersebut dinilai saling mendukung dan sinergis. Namun pada era pemerintahan syahrir sebagai perdana menteri politik luar negeri indonesia banyak dijalankan dengan cara diplomasi, dimana menurut syahrir, diplomasi adalah cara yang paling tepat mengingat kondisi dalam negeri yang masih lemah serta konstelasi politik internasional yang didominasi oleh dua kekuatan besar. Syahrir, lebih memilih opsi kebijakan melalui diplomasi dibandingkan dengan kebijakan melaalui kekuatan senjata demi memperoleh simpati dan dukungan masyarakat internasional untuk memberikan pengakuan atas kedaulatan indonesia. (Suryadinata:1998)
Berkaitan dengan munculnya dua kekuatan besar antara uni soviet dan amerika serikat yang sering disebut sebagai blok barat dan blok timur, indonesia pun mulai menentukan arah kebijakan luar negerinya. Dimana hatta menyebutnya sebagai politik luar negeri bebas-aktif, yang mana politik luar negeri ini sering dipahami sebagai sikap indonesia yang secara tegas menyatakan tidak akan memihak antara blok barat dan timur yang tengah terlibat perang, namun akan tetap aktif dalam percaturan dunia internasional serta tetap berusaha mempertahankan sikap netral terhadap dua blok demi menjaga perdamaian dunia. Garis besar Politik luar negeri bebas aktif ini kemudian dicantumkan pada pembukaan UUD 1945.
Seperti telah dibahas sebelumnya, Bebas aktif. Dua kata itu terdengar sempurna jika digunakan untuk menggambarkan keadaan politik luar negeri Indonesia. Bagaimana tidak, politik luar negeri bebas aktif pada hakikatnya menunjukkan suatu sikap tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang mengadakan pertentangan, namun juga tidak menunjukkan suatu netralitas. Seperti yang dikatakan Mohammad Hatta dalam pidatonya “Mendayung Antara Dua Karang”, “aktif” yang dimaksud menunjukkan suatu intensitas Indonesia untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan perdamaian dunia. Ini berarti Indonesia tidak menunjukkan suatu netralitas, yang diartikan sebagai keadaan tak berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta adalah Indonesia tidak memihak adidaya dunia namun bukan berarti Indonesia mundur dari arena pertentangan internasional, melainkan Indonesia akan terus berusaha secara aktif untuk melakukan upaya-upaya demi menciptakan perdamaian dunia.
Perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sejak masa Orla hingga Orba (1945-2007) memiliki dinamika yang beragam. Khususnya jika di lihat berdasarkan faktor domestik. Perubahan lingkungan domestik secara langsung dan tidak langsung memengaruhi politik luar negeri Indonesia. Perubahan kepemimpinan selama enam dekade, sejak Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono sangat jelas memperlihatkan perubahan yang mencolok dalam arah atau agenda bahkan substansi politik Luar negeri Indonesia.
Dimulai pada masa pemerintahan Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Pada era pemerintahan Soekarno, yaitu sejak tahun 1945 sampai tahun 1965, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dapat dikatakan cenderung ke arah kiri. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak garang terhadap AS dan sekutu Baratnya. Memang tidak dapat dipungkiri, antara dekade 50-an hingga pertengahan 60-an, Bung Karno merupakan sosok yang penuh dengan kontroversi, hal ini dikarenakan karena visi politik luar negerinya yang kelewat agresif. Keagresifan Bung Karno antara lain ditandai dengan pembentukan NEFOS (New Emerging Forces) yang beranggotakan negara-negara Dunia Ketiga, serta gagasan pembentukan “Poros Jakarta-Beijing-Pyongyang” yang kesemuanya menunjukkan kedekatan Bung Karno dengan komunis. Kedekatan Indonesia dengan komunis ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh keinginan Indonesia, sebagai negara yang ketika itu baru terbentuk, untuk mendapat pengakuan dari dunia internasional, yang ternyata lebih banyak didapatkan Indonesia dari negara-negara Blok Timur pada masa itu. (www.scribd.com)
Ir, Soekarno menekankan prinsip-prinsip pancasila sebagai ideologi negara dan amanat UUD 1945 sebagai tolak ukur pembangunan pasca kemerdekaan dan agresi militer Belanda I. Sesaat setelah Indonesia merdeka, Soekarno sebagai Presiden pertama Indonesia pada saat itu melakukan nasionalisasi aset-aset negara yang dulu dimiliki Belanda juga Jepang, serta melakukan sosialisasi kedaulatan Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari sabang sampai merauke kepada dunia internasional menjadi agenda utama kebijakan politik luar negeri Soekarno. Beliau bahkan tidak tinggal diam dalam menyikapi situasi internasional yang tengah bergejolak dengan adanya perang dingin antara blok barat dan timur. Aktif progresif dalam mewujudkan perdamaian dan menghapuskan `penjajahan di atas dunia`, bagi Soekarno harus diwujudkan dengan menyatukan kedaulatan antar negara-negara di dunia. (www. umum.kompasiana.com)
Soekarno juga lantang menyuarakan agar negara-negara di dunia bekerja sama menentang eksploitasi oleh negara-negara imprealis dengan membentuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok Gerakan Non-Blok dan menjadikan Indonesia sebagai tempat pertama awal berdirinya KTT Non Blok, dengan menggelar Konfrensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. (www.umum.kompasiana.com)
Di tingkat regional Soekarno menggalang kekuatan secara politik, ekonomi, kebudayaan dan olah raga dengan mendirikan ASEAN (Association of South East Asia) bersama negara-negara tetangga melalui “Deklarasi Bangkok” pada tanggal 8 Agustus 1967 yang ditandatangani oleh empat menteri luar negeri dan seorang wakil perdana menteri yakni, Adam Malik ; Menteri Luar Negeri Indonesia, .S. Rajaratnam ; Menteri Luar Negeri Singapura, Tun Abdul Razak ; Wakil Perdana Menteri Malaysia ;Narsisco Ramos ; Menteri Luar Negeri Filipina, Thanat Khoman ; Menteri Luar Negeri Thailand. (www. umum.kompasiana.com)
Seperti dijelaskan di atas dimana agenda utama politik luar negeri Indonesia saat itu yang mana lebih mengutamakan pengakuan eksistensi indonesia di mata internasional agaknya telah membawa soekarno pada kebijakan-kebijakan politiknya yang secara tegas menginginkan kembalinya wilayah indonesia secara utuh dan diakui di mata internasional, berbagai cara dan upaya pun dilakukan seperti menggalang dukungan internasional serta mengadakan perundingan-perundingan dengan belanda, salah satunya adalah diadakannya konferensi meja bundar yang mana salah satu isinya adalah pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Namun Belanda yang tak kunjung menepati janjinya agaknya telah menyulut amarah bangsa Indonesia terutama presiden soekarno yang dengan segera mencari cara untuk merebut kemali Irian Barat
Pengembalian Irian Barat menjadi masalah penting bagi pemerintah Indonesia sejak tahun 1950, yaitu satu tahun setelah penandatanganan KMB. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia satu tahun setelah pengakuan kedaulatan. Keputusan tersebut tidak pernah ditepati oleh Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berjuang dengan segala cara untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda.
Alasan Indonesia adalah karena masalah Irian Barat menunjukkan adanya penindasan suatu bangsa terhadap hak bangsa lain. Perjuangan merebut kembali Irian Barat didasarkan pada prinsip bahwa kekuasaan Belanda atas Irian Barat merupakan praktik kolonisasi, yang mana hal itu sangat tidak sesuai dengan prinsip politik luar negeri indonesia yang bebas aktif serta isi dari pembukaan UUD 1945 yang mana Indonesia menolak keras adanya penjajahan. Maka pembebasan Irian Barat merupakan salah satu kewajiban dan tugas bangsa dan pemerintah Indonesia. Pembebasan Irian Barat berarti ikut melenyapkan kolonialisme dari muka bumi. Dengan demikian, kehidupan yang demokratis berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dapat diwujudkan. Soekarno yang mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak mengenai cara-caranya yang radikal dan tidak mengedepankan diplomasi berpendapat bahwa jika penyelesaian dengan perundingan tidak tercapai dalam waktu satu tahun, maka diprediksi konflik besar akan terjadi mengenai siapa yang akan berkuasa di pulau Irian Jaya. Walaupun pada awal kemerdekaan soekarno masih mengedepankan kemerdekaan, namun peristiwa irian barat yang dianggapnya sebagai ketidak tuntasan masalah dekolonialisasi di indonesia yang berarti tidak tercapainya tujuan politik luar negeri dan kepentingan nasional indonesia membuatnya bertindak tegas serta berani menempatkan dirinya terpisah dari kabinet Natsir yang saat itu berada pada posisi Perdana Menteri dimana ia masih memilih menggunakan cara-cara diplomasi. (Suryadinata:1998)
Perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia telah melalui berbagai tahapan, yaitu diplomasi bilateral dengan Belanda, diplomasi multilateral melalui PBB, dan tahapan konfrontasi. Dalam pidato di muka rapat akbar atau raksasa di Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Sukarno dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat mencanangkan suatu komando, yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora). Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, maka akhirnya pada tanggal 31 Desember 1962 sang Merah Putih berkibar secara resmi di Irian Barat, berdampingan dengan bendera PBB. Sejak itu pula bendera Belanda diturunkan secara resmi. Selanjutnya mulai tanggal 31 Mei 1963, bendera PBB tidak lagi mendampingi bendera Republik Indonesia. Dan kita semua mengetahui, akhirnya pada tahun 1969 diadakan pernyataan pendapat rakyat (Pepera) yang sifatnya urusan internal dalam negeri Indonesia. Dengan demikian, maka masalah Irian Barat telah secara final terselesaikan secara tuntas. (http://sejarah-indonesia.co.cc)
REFERENSI
Suryadinata, Leo, 1998. “Politik Luar Negeri Indonesia Sebelum Orde Baru: Mencari Format”, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, [terj.], Jakarta, LP3ES, hlm.28-42.
Kebijakan Politik luar dan dalam negeri.2010 [online] dalam http://umum.kompasiana.com/2010/01/31/sang-presiden-%E2%80%93-kebijakan-politik-luar-dan-dalam-negeri-sambungan-menyerah-tanpa-syarat/ [diakses tanggal 18 oktober 2010]
Politik Luar Negeri Indonesaia Bebas Aktif. 2009. [online] dalam, http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-Yang-Oportunis [diakses tangga; 18 oktober 2010]
Perjuangan Pembebasan Irian Barat. 2008. [online] dalam http://sejarah-indonesia.co.cc/home/daftar-isi/demokrasi-terpimpin/perjuangan-pembebasan-irian-barat (diakses tanggal 18 oktober 2010)
0 komentar:
Posting Komentar