Politik luar negeri Indonesia terus mengalami perubahan dan pergeseran setiap kali pemerintahan berganti meskipun dasar politik luar negeri indonesia tetap sama dimana politik luar negeri indonesia masih menganut politik luar negeri bebas aktif namun seiring bergantinya masa pemerintahan pola dan penerapan politik luar negeri mulai berubah, seperti kita ketahui sebelumnya mulai dari pemerintahan era Soekarno hingga orde baru politik luar negeri Indonesia terus mengalami perubahan baik dari segi tujuan, fokus permasalahan serta penerapannya. Perubahan-perubahan yang terjadi pun cukup signifikan terutama pada era orde baru ke era reformasi. Pada era orde baru dimana politik dan kebijakan luar negeri Indonesia cenderung pada usaha-usaha perbaikan ekonomi negara melalui peningkatan pembangunan diberbagai sektor serta fokus utama pada keamanan negara yang mana dalam usaha penerapannya rezim soeharto yang otoriter cenderung menggunakan hard diplomacy yang mana dalam penerapannya sangat mengandalkan kekuatan militer dalam segala bidang termasuk dalam menjalankan politik luar negeri. Rezim Soeharto yang didominasi oleh kekuatan militer dalam usahanya mempertahankan kekuasaan agaknya telah memicu terjadinya pelanggaran HAM, sehingga pada tahun 1998 terjadi pemberontakan besar-besaran oleh rakyat yang menuntut mundurnya Soeharto dari pemerintahan sekaligus berawalnya era reformasi dimulai. Pada era reformasi yang mana saat itu Indonesia dipimpin oleh B.J Habibie sebagai presiden baru yang menggantikan Soeharto kemudian berusaha memperbaiki pemerintahan yang telah carut marut dengan segala permasalahan yang ada terutama akibat dari krisis ekonomi yang terjadi sejak era orde baru. B.J Habibie kemudian berusaha menata kembali pemerintahan dalam negeri dengan fokus pada masalah-masalah domestik begitu juga dengan politik luar negeri Indonesia yang kembali dibangun. Politik luar negeri pun mulai dibangun kembali dari awal, tujuan utama politik luar negeri Indonesia yang awalnya hanya fokus pada pembangunan dan perbaikan ekonomi serta keamanan negara kemudian bergeser pada tujuan utama pemulihan nama baik Indonesia seputar dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur yang mana dalam menjalankannya Presiden Habibie cenderung menggunakan instrumen soft power, selain itu Habibie juga memfokuskan terhadap pengembangan sumber daya manusia Indonesia, ditandai dengan banyak sekali pelajar Indonesia utamanya S2 yang mendapat beasiswa dari berbagai negara guna menuntut ilmu. Serta adanya program-program pertukaran pelajar dengan berbagai negara. Militer tidak lagi menjadi instrumen utama dalam mengambil keputusan baik kebijakan dalam maupun luar negeri. Peran Departemen Luar negeri dalam menjalankan politik luar negeri kembali diaktifkan dalam mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan presiden guna mengambil keputusan dalam menjalankan hubungan luar negeri. Namun sayangnya, fokus utama Habibie dalam memperbaiki nama Indonesia dari kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia serta fokus dalam perbaikan ekonomi agaknya telah membuat lepasnya provinsi Timor Timur yang direbut dan diperjuangkan secara mati-matian di era orba dari wilayah Indonesia. Salah satu faktor lepasnya provinsi Timor Timur dari wilayah Indonesia adalah kurang tegasnya pemerintah dalam mengakui wilayah Timor Timur sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia juga lunaknya sikap presiden Habibie dalam diplomasi dimana dalam kasus Timor Timur Habibie menawarkan opsi otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri kepada rakyat Timor Timur (Tim-Tim), salah satu propinsi Indonesia yang direbut dan dipertahankan dengan susah-payah oleh Rezim Soeharto. Sehingga ketika jajak pendapat dilakukan pilihan terhadap bebas menentukan nasib sendiri lebih unggul dan membuat provinsi Timor Timur akhirnya lepas dari kedaulatan Indonesia.
Lalu bagaimana dinamika domestik yang terjadi sejak pemerintahan presiden B.J Habibie sampai pemerintahan Presiden SBY? Seperti kita ketahui yang mana agenda dan sasaran politik luar negeri Indonesia seperti dinyatakan Bung Hatta yang mana untuk mencapai kepentingan nasional dan dijalankan secara pragmatis sesuai dengan situasi dan kondisi membuat politik luar negeri Indonesia berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang terjadi baik dalam negeri maupun dunia internasional juga tergantung pada pemerintahan yang sedang berkuasa.
Di era Habibie, misalnya kepentingan nasional dalam dunia diplomasi lebih merujuk ke upaya pemulihan ekonomi serta pengembalian nama baik negara. Sedangkan dalam diplomasi era Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain memulihkan ekonomi, upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik serta mempertahankan integritas teritorial Indonesia juga menjadi agenda utama dalam politik luar negeri Indonesia misalnya saja dengan dilakukannya rangkaian kunjungan ke mancanegara. Selain itu, demokratisasi melalui reposisi peran militer dilakukan agar kembali ke peran profesional. Yang kemudian terus berlanjut hingga pemerintahan megawati yang juga memfokuskan pada kepentingan pokok yang lain dalam upaya mengatasi terorisme yang saat itu marak terjadi di Indonesia. Dari Megawati ke presiden SBY, kepentingan nasional Indonesia masih merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya namun interpretasi presiden SBY dalam kepentingan nasional lah yang agak berbeda dimana hal ini menurut banyak pihak mengakibatkan integritas Indonesia kembali dipertanyakan di mata dunia karena kebijakan-kebijakan yang diambil oleh presiden SBY dinilai sebagai sebuah realitas yang secara substantif berseberangan dengan kepentingan nasional Indonesia. Misalnya saja kebijakan SBY di DK-PBB menyangkut isu nuklir Iran pada tahun 2007 dimana dinilai terlalu memihak barat sehingga kebijakan tersebut terlihat agak menyimpang dari kepentingan nasional indonesia. Indonesia dinilai telah melepaskan peluang ekonomi dan politik, yakni dari kemungkinan mendapatkan teknologi nuklir Iran bagi pengembangan energi yang sedang diwacanakan Indonesia. Selain itu, indonesia juga cenderung dirugikan oleh negara-negara lain bahkan oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura banyak pulau yang hilang dan rusak termasuk juga kalkulasi perbatasan wilayah laut yang semakin tidak jelas. Politik luar negeri Indonesia pada era pasca orde baru ini terutama pada era pemerintahan SBY dinilai kurang bermanfaat bagi Indonesia sendiri dikarenakan sikap serta kebijakan pemerintah yang diambil cenderung tidak jelas posisinya. Bukan bertipe high politics seperti era soekarno yang bergaya revolusioner ataupun low profile seperti era soeharto dimana Indonesia sangat dihargai dan terpandang di mata Internasional. Politik luar negeri Indonesia pasca orde baru justru cenderung no profile dikarenakan ketidak jelasan posisi serta kebijakan-kebijakan yang diambil. (Dhurorudin, 2008: 179-182)
PLN RI ERA WAHID
Era kepemimpinan Wahid diawali dengan implikasi lepasnya Timor Timur. Namun, Timor Timur jugalah yang tampaknya dipakai sebagai entry point untuk menata politik dalam negeri. Pada saat yang sama, wacana dalam negeri terjadi gelombang politik menuntut reformasi TNI. Pilihan situasi domestik dan internasional ini, dimanfaatkan Wahid untuk mendapatkan dukungan politik atas berbagai kebijakannya mengenai TNI maupun kasus separatisme yang melibatkan TNI. Pada Era Wahid, kebijakan untuk pemeliharaan integritas nasional yang kian bergejolak menyusul berhasil lepasnya Timor Timur dari Indonesia memang relatif berhasil dilakukan, meskipun ancaman itu selalu ada dan tidak punah. (Mashad, 2008:188)
Realitas kondisi domestik ini dijadikan dasar kebijakan luar negeri Wahid. Periode pemerintahan Wahid berusaha memperkuat komitmen dunia internasional terhadap Indonesia dengan melakukan perjalanan keliling di 80 negara dalam tempo dua puluh bulan pemerintahannya. Kebijakan yang dikenal sebagai ‘diplomasi persatuan’ itu dimaksudkan untuk memperoleh dukungan internasional terhadap wilayah kedaulatan Indonesia yang tengah menghadapi masalah disintegrasi, berupa tuntutan pemisahan diri di beberapa dareah seperti Aceh, Papua, dan Riau. (Mashad, 2008:189)
Namun, kelemahannya diplomasi Indonesia pada era Wahid ini, diplomasi Indonesia tidak diimbangi dengan kebijakan dalam negeri yang solid dengan mengeluarkan mengeluarkan rumusan kebijakan yang komprehensif, visi, dan prioritas sasaran yang jelas dan strategi yang tepat. Beliau justru terjebak dalam proses tarik-menarik antar kepentingan politik nasional serta menanggapinya dengan emosional dan langkah reaksioner yang justru mengantarkannya pada proses impeachment. (Mashad, 2008:190)
Tujuan Utama PLN RI Era Wahid.
Pada era pemerintahan presiden abdurrahman wahid, politik luar negeri Indonesia senantiasa sangat dipengaruhi oleh politik domestik. Hal ini terbukti jika dilihat kembali beberapa karakteristik cara diplomasi yang dilakukan oleh presiden Soekarno hingga Habibie yang cenderung melakukan diplomasi yang multilateral, dalam pemerintahan Gusdur ketika memimpin Republik Indonesia, lebih mengedepankan diplomasi secara Bilateral. Gusdur selalu menampakan moment-moment pertemuan antarnegara dengan sikap yang santai dan bersahabat. Ketika Gusdur melakukan kunjungan kenegaraan, suasana formal kerap tidak terlihat kesan santai serta lucu cenderung terjadi dan dapat mencairkan suasana yang memanas. Sikap Gusdur yang santai ini dilakukan untuk mencairkan suasana dan dapat memudahkan transaksi kepentingan dan bahkan mempermulus pertarungan strategis, dan juga bisa meningkatkan bargaining position terhadap posisi Indonesia yang saat itu sedang melemah. Dengan melihat cara diplomasi yang dilakukan Gusdur dapat kita lihat bahwa sesungguhnya tujuan politik luar negeri indonesia saat itu selain memperbaiki perekonomian negara dengan meminta dukungan dari negara-negara sahabat juga bertujuan untuk memperbaiki citra negatif terhadap Indonesia dimata dunia Internasional mengingat banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi terutama kasus-kasus yang terjadi di era ORBA
Faktor-Faktor yang Mendasari Politik Luar Negeri Era Gus Dur
Sejak menjabat Presiden RI Oktober 1999, Gus Dur telah melakukan 'revolusi besar' terhadap bangunan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Gus Dur memberikan fokus perhatian tinggi pada dinamika internasional. Ini terbukti dengan tingginya frekuensi lawatan sang presiden ke luar negeri. Di samping itu Gus Dur pun, secara sadar atau tidak, telah merombak format hubungan luar negeri Indonesia. Jika dahulu-terutama di era Orde Baru, Indonesia sangat mengedepankan pola hubungan multilateral, maka kini aspek bilateral menjadi lebih dominan. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat jika Indonesia membutuhkan dukungan dari negara-negara tertentu, terutama dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional di fora internasional. Selama masa tiga bulan pertama, kepemimpinan Gus Dur sudah menebar signifikasi corak diplomasi. Secara bilateral, dukungan dari kepala negara lain terhadap pemerintahan Gus Dur telah meningkatkan postur pribadinya sebagai kepala negara. Konsekuensinya citra Indonesia merambat naik. Tentu saja fenomena tersebut memberikan imbas positif terhadap dinamika kerja sama ekonomi, paling tidak dalam hal komitmen pengaliran investasi (www.hamline.edu).
Gus Dur telah mencetuskan suatu ide, suatu gagasan baru di bidang politik luar negeri Indonesia. Gagasan itu adalah: Indonesia dan Tiongkok bisa saling kerjasama dengan bangsa-bangsa Asia, yakni India, Singapura dan Jepang dalam upaya memperkuat posisi Asia di dunia. Kerjasama kelima negara ini akan mengembangkan hubungan yang lebih baik tanpa membahayakan atau merugikan pihak lain Gagasan untuk membangun suatu "usaha untuk adanya suatu kerjasama antara lima negara Asia tersebut dalam upaya memperkuat posisi Asia di dunia", tampak bagus dan indah kedengarannya. Bahkan merupakan suatu gagasan yang cukup simpatik (www.indonesiamedia.com).
Jadi pada masa pemerintahan Gus Dur, politik luar negeri Indonesia lebih fokus pada perbaikan citra Indonesia dan Asia serta hubungan diplomatik secara bilateral dengan negara-negara adidaya seperti Amerika, Jepang dan RRC. Gus Dur memiliki gagasan untuk mempererat aliansi dengan negara-negara di dunia yang diawali dengan perhatiannya pada ASEAN. Gagasan Gus Dur tersebut yang ingin membentuk aliansi tersebut, guna untuk memperkuat perekonomian, sumber daya manusia dan militer Indonesia.
Isu-Isu yang Terjadi Pada Era Gus Dur
Isu domestik mendasar era Gus Dur adalah upaya reposisi militer untuk mempercepat demokratisasi. Bukan sekedar tentara memperlihatkan sikap netral tentara dalam pemilu, tetapi harus direposisi dalam suatu sistem politik yang demokratis berlandas supremasi sipil. Sebagai solusinya Wahid mengambil inisiatif menggalang dukungan internasional untuk mereposisi secara progresif peran militer dalam rangka demokratisasi. Bukan hanya itu saja, isu-isu yang ada dalam masa kepemimpinan Wahid adalah adanya ancaman terhadap integritas negara, yang ditandai dengan oleh konflik komunal di berbagai wilayah sampai persoalan separatisme. Selain itu juga, pada masa Gus Dur, isu-isu teorisme juga mulai muncul serta menguatnya politik Islam. (Mashad, 2008:220-224)
Referensi
Mashad, Dhurorudin, 2008. ”Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi”, dalam Ganewati Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, hlm. 174-238.
0 komentar:
Posting Komentar